Djawanews.com – Kurang lebih 200 orang menjadi korban mafia Tanah Kas Desa (TKD) di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Total kerugian yang dialami korban ditaksir mencapai Rp68,5 miliar sementara total kerugian keuangan negara skitar Rp2,95 miliar.
Pelaksana Lapangan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Proklamasi 45, Ana Riana, mengatakan ratusan orang itu menjadi korban penyalahgunaan TKD oleh Robinson Saalino. Ia merupakan Direktur Utama PT Deztama Putri Sentosa.
"Kalau yang 200 orang (korban) Robin semua," kata Rian saat diwawancara di Sleman, DIY, Sabtu (27/9).
Ia menjelaskan Robin diduga melakukan alih fungsi TKD Caturtunggal menjadi area singgah hijau bernama Ambarukmo Green Hills. Para korban membeli TKD di empat lokasi, meliputi Condongcatur, Caturtunggal, Candibinangun, dan Maguwoharjo.
"Jadi, kerugian negara sama (total) kerugian korban, jauh lebih besar kerugian korban," ucapnya.
Ia pun memperkirakan ada korban lain yang belum terpantau LKBH, sehingga kerugian bisa jadi lebih banyak.
Rian mengatakan saat ini prioritas utama adalah meminta pertanggungjawaban kepada pengembang. Namun, jika tak ada iktikad baik, maka proses hukum akan dilanjutkan.
"Baik pidana maupun perdata. Jadi ini marketingnya beda-beda, lokasinya beda-beda," ucapnya.
Darno, salah seorang korban yang membeli tanah di di Nologaten, Depok, Sleman, mengaku rugi hingga Rp370 juta. Dia membeli dua kavling total seluas 235 meter pada 2021 dan dijanjikan hak guna bangunan (HGB) selama 20 tahun.
Pengembang menjanjikan HGB dapat diperpanjang sebanyak dua kali, setelah itu statusnya kembali jadi TKD. Darno mengaku kala itu dirinya lebih tergiur harga murah yang ditawarkan pengembang.
"Jumlah kavling di sana sekitar 75, sudah ada yang bangun. Kalau saya kebetulan belum bangun, cuma investasi lahan saja. Tidak ada sertifikat (HGB), jadi kita cuma perikatan investasi (Surat Perjanjian Investasi/SPI) di akta notarisnya," katanya.
Menurutnya, pemerintah desa dan PT Deztama Putri Sentosa telah membuat surat perjanjian sewa tanah. PT Deztama Putri Sentosa ditunjuk menjadi pengelola lahan.
Darno mengaku tidak menaruh curiga karena sudah ada izin dari pemerintah setempat. Ia mengatakan berencana membangun kos-kosan di lahan yang ia beli.
"Saya nggak paham, kiranya boleh untuk dirikan rumah. Tadinya saya mau bikin kos-kosan. Duit yang saya peroleh dari purna tugas itu saya invest ke situ," tuturnya.
Korban lainnya, Edwin Affandi, menyatakan ia ditawari Avanti Villa di lahan TKD Caturtunggal untuk investasi dan hunian. Menurutnya, ada 58 unit dan 23 di antaranya terjual.
Namun, semua unit yang terjual belum diserahterimakan dari pengembang kepada konsumen. Ia menuturkan ada delapan bangunan yang sudah berdiri.
Namun, unit yang ia beli belum memasuki tahap pembangunan sejak dibeli pada Februari 2023. Padahal, ia telah membayar uang muka 50 persen sebesar Rp190 juta. Bahkan, kata Edwin, ada pembeli yang sudah membayar secara tunai.
"Sampai sekarang tidak ada progres pembangunan, sampai di mana proyek itu ditutup tidak ada pemberitahuan manajemen. Tahu ditutup karena ngecek, ternyata sudah di-banner (penutupan proyek) semua. Dan kita dilempar-lempar terus, ke humas, admin, marketing, seolah-olah lempar tanggungjawab semua," ucapnya.
Edwin dijanjikan akan memperoleh jawaban soal nasib tanahnya dalam tiga atau empat bulan ke depan sambil menunggu proses penyidikan Kejaksaan Tinggi DIY berlangsung.
Berdasarkan laporan LKBH Universitas Proklamasi 45, mayoritas konsumen berdomisili di luar DIY, seperti Jakarta, Bandung, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Korban rata-rata ditawari HGB, bahkan SHM setelah dua kali perpanjangan.
Kebanyakan korban termakan iming-iming harga murah dan terkecoh SPI untuk izin area singgah hijau atas TKD yang sebetulnya menyalahi aturan jika dimanfaatkan sebagai lahan hunian atau perumahan berdasarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.
Selain itu, ada Jogja Eco Wisata (JEW) yang berlokasi di TKD Candibinangun, Pakem, dengan kerugian konsumen mencapai total Rp30 miliar.
JEW memiliki tujuh klaster yang terdiri dari ruko, vila berstatus Hak Pengelolaan (HPL), dan vila berstatus Hak Milik (HM).
Modus pengembang kurang lebih sama, yaitu menawarkan investasi unit vila selama 20 tahun dan dapat diperpanjang sebanyak 2 kali. Dari 972 unit yang ditawarkan, sekitar 30 persen telah diserahterimakan, tetapi unit lainnya.
Dalam kasus ini, Kejati DIY telah menahan dua tersangka, yaitu Robinson Saalino selaku Direktur Utama PT Deztama Putri Sentosa dan Lurah Caturtunggal Agus Santoso.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.