Djawanews – Di Yogyakarta, telah viral mahasiswa tukar setrika dengan makanan yang diketahui pertama kali beredar di media sosial. Lantas bagaimana hal tersebut dapat terjadi, dan bagaimana sikap pemerintah?
Kejadian tersebut diawali oleh seorang pengemudi Ojek Online (Ojol) yang tidak percaya dengan apa yang dibayarkan oleh seorang pemesan Go Food. Pengmudi Ojol tersebut kemudian mengunggah satu hal menarik di tengah lockdown pandemi corona.
Fakta Mahasiswa Tukar Setrika dengan Makanan
Diunggah dari akun Facebook atas nama Fitri Suprasetyo (pada tanggal 19 April 2020), berikut ini unggahan yang menjadi viral tersebut:
“ Cah kos sekitar Gejayan,, jajan Gacoan entek 40rb ,, dibayar nganggo kui. Wis di note ket awal pesen,, tetep dilakokne wong mesake di cancel.. Efek lock doonngg,,
Mesakne lurr
Mugo2 ndang kondusif lurr
Berikut artinya dalam bahasa Indonesia: Anak kos sekitar Gejayan, jajan Gacoan (Nama tempat makan) habis 40rb dibayar dengan menggunakan itu (merujuk pada gambar yang disertakan yaitu gambar setrika). Sudah diberikan note dari awal pesan tetap dilakukan daripada kasian di cancel. Efek lockdown (yang ditulis dalam bahasa slang).
Pesan Tersirat pada Anak Kos di Seluruh Jogja
Merujuk pada anak kos di Jogja, bisa jadi ini adalah pesan tersirat yang mempertanyakan “Bagaimana dengan nasib anak kos?” “Anak kos yang tidak terdata sebagai warga, apakah mereka mendapatkan bantuan?”
Nyatanya listrik anak kos masih saja membayar, namun memang ada beberpa pemilik kos yang ikut membantu mereka memberikan subsidi dan pasokan makanan. Tidak hanya itu, beberapa kampus juga melakukan patungan bagi mahasiswanya.
Bagi mereka yang mendapatkan beruntung sekali. Tapi bagaimana dengan yang tidak?
Oke, saya akan berasumsi pada saat saya menjadi anak kos. Pertama adalah saya seorang mahasiswa luar daerah. Saya pastinya tidak bisa pulang dengan mudah, apalagi dengan harga tiket yang mahal.
Untuk setahun sekali pulang saja kami (anak kos luar Jogja) kadang tidak sanggup pulang, apalagi dalam kondisi mendadak seperti seperti ini. Perjalanan tentunya juga akan memakan waktu, khususnya untuk mahasiswa luar daerah. Jadi, kami akan tetap berada disini, di Jogja. Kami akan bertahan hidup seadanya dengan barang yang kami miliki.
“Kenapa tidak Meminta Orang Tua?”
Ada dua jawaban disini, pertama adalah orang tua kami tidak semuanya mampu.
Kedua adalah kami gengsi menjadi peminta.
Saya masih ingat sekali banyak kawan mahasiswa yang mencari uang untuk bekerja paruh waktu, terutama untuk membiayai kuliahnya. Pastinya, orang yang pernah menjadi mahasiswa paham dengan hal ini, berjuang yang bahkan menjadikan kuliah kami molor karena; bangun kesiangan, lantaran malamnya harus bekerja paruh waktu.
Lalu, Apakah Pemerintah Memiliki Solusi?
Bantuan pemerintah saat ini yang saya ketahui adalah potongan listrik dan bantuan dana. Tapi apakah bantuan tersebut sampai? Apakah sosialisasi tersebut terdengar sampai ke tataran yang paling bawah seperti gelandangan, pengemis, dan anak kos yang kadang kuota pun tidak mampu beli?
Mungkin akan banyak yang menertawakan opini ini, karena hanya sebatas asumsi. Namun, ada baiknya bagi Anda yang berpikiran seperti itu untuk sesekali main dengan mahasiswa jenis tersebut.
Akan ada banyak sekali Bung, dari mereka yang berpura pura survive. Padahal dalam hati mereka ada kegelisahan, disuruh pulang sama orang tua yang sudah semakin renta, apalah daya cita cita?
Pandemi menyisakan banyak cerita, mulai dari yang bahagia, yang lucu, dan yang kejam. Ketiga frasa tersebut pernah saya baca di mana, entahlah, yang jelas tiga frasa itu selalu ada dikala pendemi ini ada.
Belajar dari mahasiswa tukar setrika dengan makanan di Jogja, pesannya bagi para pengusaha agar bersabarlah karena kami mahasiswa paruh waktu juga membutuhkan kalian. Bertahanlah dalam pandemi ini meski “kamu dan aku tidak pernah ada yang membantu”.