Djawanews.com – Ketua DPR Puan Maharani meminta pemerintah untuk mengantisipasi dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Dia berharap kebijakan ini tidak semakin memperburuk ekonomi masyarakat kelas menengah.
"Kami memahami tujuan kenaikan PPN untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran. Namun pemerintah harus memperhatikan dampak yang akan muncul dari kebijakan tersebut," ujar Puan dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis 19 Desember.
Dia memahami bahwa kenaikan PPN merupakan amant dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun pemerintah tak boleh mengabaikan masukan dari sejumlah kalangan dan kelompok masyarakat.
Sebab, masih timbul kekhawatiran kenaikan PPN justru lebih membebani daya beli masyarakat kelas menengah dan pengusaha kecil.
"Kita harus cermat dalam memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Karena masih ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memperburuk keadaan bagi kelas menengah dan pelaku usaha kecil," kata Puan.
Kenaikan PPN jadi 12 persen yang sempat dijanjikan terbatas untuk barang mewah rupanya kurang ditepati oleh pemerintah. Sektor konsumsi rumah tangga secara umum dinilai tetap terdampak, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan menengah dan rendah.
Selain itu, kenaikn PPN juga diprediksi akan memicu inflasi pada barang konsumsi harian, seperti pakaian, perlengkapan kebersihan, dan obat-obatan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi banyak keluarga.
"Dampak bisa terjadi kepada masyarakat ketika produsen dan pelaku usaha menaikan harga produk secara antisipatif sehingga memicu inflasi naik semakin tinggi. Ini yang harus diantisipasi," tegasnya.
Dia lantas membeberkan, berdasarkan simulasi dari Center of Economics and Law Studies (Celios), kelas menengah diprediksi mengalami penambahan pengeluaran hingga Rp354.293 per bulan atau Rp4,2 juta per tahun dengan adanya kenaikan PPN.
Sementara, keluarga miskin diprediksi menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp101.880 per bulan atau Rp1,2 juta per tahun, sementara kelompok rentan akan menghadapi penambahan pengeluaran sebesar Rp153.871 per bulan. Walaupun ada insentif dari Pemerintah untuk masyarakat kelompok rentan, Puan meminta Pemerintah menyiapkan solusi jangka panjang.
"Kita harus memahami kondisi rakyat, jangan sampai dengan kenaikan PPN ini malah membuat perekonomian rakyat semakin sulit," tegasnya.
Dengan dinamika ekonomi saat ini, menurutnya, banyak masyarakat yang sudah tertekan. Dampaknya, tak sedikit yang terjerumus dalam lingkaran pinjaman online dengan bunga tinggi.
"Kita berharap tak ada lagi tambahan tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat," ujarnya.
Lebih lanjut, dia menyinggung soal pengecualian kenaikan PPN terhadap barang kebutuhan pokok dan jasa tertentu. Misalnya beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, serta jasa pendidikan dan kesehatan tidak akan dikenakan PPN.
Meski begitu, kenaikan harga diprediksi tetap akan terjadi karena efek turunan dan interkonektivitas rantai pasok pangan yang membebani pengusaha. Hal itu lantaran PPN bersifat multistage tax atau dikenakan ke setiap jenjang rantai produksi dan distribusi.
"Pemerintah harus memiliki langkah antisipasinya apabila kenaikan harga bahan pokok terjadi akibat kenaikan PPN," kata Puan.
Puan menyatakan DPR melalui komisi terkait akan mengevaluasi apakah program penompang daya beli bagi masyarakat serta insentif perpajakan yang diberikan akan efektif dalam menjaga derajat kesejahteraan masyarakat.
Ia juga mendorong Pemerintah untuk mengambil kebijakan yang memprioritaskan kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
“Pemerintah harus semakin efektif dalam menjalankan kebijakan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas serta pelayanan publik yang semakin baik," kata Puan.
“Sehingga rakyat merasakan bahwa pajak yang dibayarkan memberikan manfaat yang baik bagi peningkatan pelayanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan lain-lain,” pungkasnya.