Dilansir dari blog.netray.id: Kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan menjadi viral di media sosial setelah dimuat oleh Project Multatuli dalam artikel hasil reportase mereka dengan judul Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan. Tulisan tersebut merupakan bagian dari serial reportase #PercumaLaporPolisi yang didukung oleh Yayasan Kurawal. Tagar tersebut kemudian viral di jagat maya sebagai bentuk dukungan untuk korban dan agar hasil pemberitaan tersebut semakin ramai dibaca dengan harapan kasus ini kembali dibuka. Tak sampai di situ, setelah pemberitaan ini tersebar secara cepat Project Multatuli selaku media yang pertama kali menerbitkan artikel ini pada Rabu, 06 Oktober 2021 kemudian dilaporkan mengalami serangan siber bertubi-tubi.
Merespons persoalan ini, Netray sebagai media monitoring turut memantau laju perbincangan netizen dalam membahas dan menggunakan tagar #PercumaLaporPolisi yang sempat menduduki trending topik Twitter. Netray melakukan pemantauan sejak 05 Oktober 2021 sampai dengan 11 Oktober 2021 dengan menggunakan tiga kata kunci, yakni #PercumaLaporPolisi, ayah perkosa 3 anak, dan pemerkosaan && Luwu Timur. Hasilnya tampak pada Top Words di atas beberapa kata seperti, republikasi, solidaritas, pembungkaman, dan lain sebagainya mendominasi perbincangan netizen terkait topik ini. Lalu seperti apakah grafik dari laju perbincangan netizen terkait kasus yang membuat geram masyarakat ini?
Pada grafik di atas perbincangan netizen terkait kasus ini mencapai 52.6 ribu tweets dengan didominasi 25.9 ribu tweets bersentimen negatif. Adapun jumlah impresi mencapai 783.6j uta dengan menjangkau lebih dari 116.2juta pengguna akun Twitter. Sebagaimana diketahui, sebelumnya Project Multatuli lewat serial reportasenya #PercumaLaporPolisi mengisahkan seorang ibu tunggal di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang putus asa mencari keadilan untuk tiga anak perempuannya. Ketiga anak itu diperkosa oleh ayah kandung mereka sendiri dan mereka semua masih berusia di bawah 10 tahun.
Ketiga anak perempuan tersebut telah diperkosa lewat vagina dan anus oleh si mantan suami pada 2019 lalu. Penemuan itu membuat Lydia (Nama samaran yang digunakan oleh Project Multatuli) melapor ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dinas Sosial Luwu Timur yang justru memanggil pelaku untuk membuktikan apakah ketiga korban mengalami trauma dan Polres Luwu Timur yang menyatakan tidak ditemukan tanda kekerasan di tubuh para korban.
Namun, hasil yang berbeda justru didapatkan Lydia saat dirinya melapor ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Makassar. Psikolog anak di lembaga tersebut menyimpulkan terdapat konsistensi cerita pada ketiga korban mengenai kekerasan seksual yang dilakukan ayah mereka. Kasus ini bahkan sempat ditangani oleh Polda Sulawesi Selatan, tetapi penyelidik juga menyatakan tak ada bukti bahwa pemerkosaan benar terjadi.
Menurut Lydia polisi menolak melihat bukti video rekaman yang berisi bukti luka-luka di kemaluan anaknya. Alih-alih menindaklanjuti cerita korban dan ibu korban dengan mulai mencari bukti, polisi justru memeriksa keadaan jiwa Lydia. Hingga akhirnya kasus ini ditutup pada 10 Desember 2019 hanya 63 hari setelah pelaporan pertama. Namun sayangnya, tidak ada upaya menyelidiki kembali, meski Komnas Perempuan telah merekomendasikan kepolisian agar membuka kembali kasus tersebut.
Membaca hasil repotase tersebut membuat netizen merasa geram dan mengutuk tindakan tersebut. Tampak melalui grafik pada gambar di atas lonjakan perbincangan warganet meningkat secara signifikan sehari setelah reportase tersebut dimuat dan dibagikan berulang kali oleh netizen. Tak hanya itu, peningkatan secara signifikan ini juga disebabkan oleh gerakan republikasi akibat adanya serangan siber yang dialami oleh Project Multatuli. Serangan tersebut diduga dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan dalam kasus tersebut karena laman spesifik yang memuat artikel ‘Tiga Anak Saya Diperkosa Ayahnya’.
Project Multatuli Alami Serangan Siber
Sebagai media jurnalisme daring yang berfokus pada isu-isu yang dipinggirkan Project Multatuli berhasil membuat sebuah kasus yang tadinya tidak terdengar kini menjadi viral. Hal ini tentu memiliki konsekuensi tersendiri, seperti serangan siber yang belum lama dialami web Project Multatuli. Melalui Social Network Analysis Netray, tampak beberapa entitas yang paling banyak ditandai dalam unggahan netizen, seperti @DivHumas_Polri, @projectm_org, dan @VICE_ID.
Dilansir melalui laman mojok.co Fahri Salam selaku Pemimpin Redaksi Project Multatuli menceritaka bahwa serangan tersebut mulai tampak pada malam hari 06/10/2021 tepatnya pukul 20.00 ditandai dengan munculnya aktivitas yang tidak wajar pada server mereka. Serangan tersebut berupa distributed denial of service attack (DDoS). Serangan ini dilakukan dengan mengirim spam rikues ke situs web dalam jumlah sangat besar dengan tujuan agar situs tersebut down dan tidak bisa diakses.
Menurut mojok.co serangan siber pada media massa digital bukan merupakan hal yang baru. Sebelumnya, pada dini hari 21 Agustus 2020, tempo.co juga alami peretasan dalam bentuk deface tampilan website, diduga karena liputan mereka tentang peran influencer mengampanyekan omnibus law RUU Cipta Kerja. Bahkan kabarnya hal tersebut merupakan kali keempat Tempo diretas. Pada hari yang sama tirto.id juga mengalami peretasan dalam bentuk lain. Sebanyak 7 artikel berita tentang Partai Demokrat, omnibus law, kejanggalan obat corona, polisi pejabat, hingga drama Korea dihapus oleh peretas.
Bahkan selain serangan siber, liputan kasus pemerkosaan tersebut menyebabkan Project Multatuli ‘diserang’ dengan cara dicap sebagai hoaks oleh Polres Luwu Timur. Untuk melawan serangan yang kian masif tersebut Project Multatuli mengumumkan pada kawanan media massa digital lainnya untuk mengunggah kembali liputan tersebut secara gratis sebagai bentuk solidaritas. Tujuannya republikasi ini sama, yakni agar kasus ini semakin tersiar dan dibaca oleh banyak masyarakat.
Menyambut tawaran tersebut sejumlah media massa digital turut mewujudkan solidaritas dengan menayangkan ulang liputan “Tiga Anak Saya Diperkosa…”. Beberapa di antaranya adalah Suara, VICE Indonesia, IndoPROGRESS, Tirto, dan Tempo. Tak sampai disitu, bahkan salah seorang netizen juga melayangkan tuntutan pada polisi Luwu Timur untuk mencabut label hoaks atas artikel Project Multatuli dengan meminta maaf dan mengusut ulang kasus, dan lima tuntutan lainnya sebagai berikut.
Tuntutan tersebut disuarakan oleh salah satu netizen dengan nama akun @mardiasih yang mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menyatakan bahwa tindakan Polres Luwu Timur adalah preseden buruk bagi penanganan kasus kekerasan seksual. Selain itu, serangkaian serangan pada jurnalistik juga menjadi bukti bahwa Indonesia masih berasa dalam status darurat penanganan kekerasan seksual.
Sebelumnya Netray sempat mengulas persoalan terkait kekerasan seksual dengan judul artikel Kekerasan Seksual; Sebaran Data Hingga Kasus Terkini. Sebagaimana tampak melalui indeks sebaran data yang dilansir melalui laman Lokadata menunjukkan pada tahun 2020 kekerasan seksual terhadap perempuan di ranah KDRT atau personal sebesar 2.806 kasus.
Melalui grafik di atas tampak pada tahun 2020 pun kasus kekerasan seksual terbanyak ditempati oleh kasus inses, yakni kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga dekat yakni sebanyak 822 kasus. Sementara, pada posisi kedua terbanyak yakni kasus perkosaan dengan 792 kasus. Lalu selain perempuan, ternyata anak-anak juga turut masuk dalam kategori rentan sebagai korban terhadap kekerasan seksual. Hal ini dapat diamati melalui laju grafik sebagai berikut.
Melalui grafik di atas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat. Pada 2019, ditemukan sebanyak 350 perkara. Jumlah ini meningkat 70 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menjadi cukup mengkhawatirkan mengingat jumlah kasus yang tercatat tersebut bukan merupakan jumlah yang sedikit. Untuk selengkapnya dapat diamati melalui Data Kasus Pengaduan Anak 2016 – 2020 yang Ditayangkan oleh KPAI R.N–18 Mei 2021. Dengan terjadinya kembali kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur menunjukkan Indonesia masih darurat kasus kekerasan seksual.
Kutukan Netizen Dalam Gaungan Tagar #PercumaLaporPolisi
Agaknya gaungan tagar #PercumaLaporPolisi yang awalnya merupakan judul serial milik Project Multatuli ini turut mewakili keresahan masyarakat yang alami hal serupa. Tak heran bila kemudian tagar ini ramai-ramai digunakan oleh netizen yang menyayangkan tindakan kepolisian yang menghentikan penanganan kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur tersebut.
Menanggapi hal ini Mabes Polri menyampaikan bahwa pihaknya tidak akan mengambil alih kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung dari ketiga anak di Luwu Timur tersebut. Hal ini disampaikan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono. Ia mengatakan, kasus tersebut akan dipegang oleh Polda Sulsel khususnya Polres Luwu Timur. Mabes Polri hanya memberikan pendampingan dalam melakukan penyelidikan ulang.
Kasus yang viral karena penghentian penanganan oleh pihak kepolisian ini pun meraih sentimen negatif yang cukup tinggi dari netizen. Seperti halnya kalimat yang diusung pada tagar tersebut yang mengimplisitkan pesan kekecewaan terhadap pihak kepolisian. Akhirnya setelah kasus-kasus tersebut viral di jagat maya barulah pihak kepolisian mengambil alih dan menangani kasus-kasus tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan tagar #PercumaLaporPolisi tidak hanya memuat isu terkait pemerkosaan di Luwu Timur namun juga beragam curhatan netizen lainnya yang mengalami kekecewaan yang serupa.
Tagar #PercumaLaporPolisi tentunya menjadi testimoni pedas dari masyarakat terhadap kinerja institusi negara ini. Hal ini seharusnya dapat menjadi pembelajaran dan pembenahan Polri dalam kesungguhannya untuk melayani masyarakat secara adil dan bijaksana. Meski kemudian pihak kepolisian kini menggaungkan tagar tandingan yakni #PolriSesuaiProsedur namun hal ini tak cukup untuk memuaskan masyarakat yang sudah terlanjut kecewa atas penanganan kasus di Luwu Timur. Hal ini justu menjadi bukti kegagalan penegak hukum untuk memberikan keadilan dan menciptakan keamanan bagi masyarakat luas.