Djawanews.com - Indonesia memiliki penduduk hingga ratusan juta jiwa yang tinggal di berbagai pulau. Suku, budaya, hingga bahasanya pun beraneka ragam. Namun ternyata, tak ada penduduk yang 'asli' Indonesia. Mengapa begitu?
Hal ini disampaikan oleh Pradiptajati Kusuma, peneliti genetika manusia dan evolusi dari Eijkman Institute.
Dalam penelitian yang dilakukan menyebutkan tak ada penduduk asli karena semua penduduk Indonesia adalah pendatang. Orang Indonesia sendiri memiliki campuran genetika yang beragam. Hal ini kian menguatkan bukti bahwa tak ada manusia Indonesia yang 'asli' atau 'pribumi'.
"Semua orang Indonesia adalah migran [pendatang]," kata Pradiptajati.
Hasil studi genetika Eijkman Institute, yang melibatkan 70 populasi etnik di 12 pulau di Indonesia, membuktikan adanya pembauran beberapa leluhur genetik dari periode dan jalur berbeda.
Pencampuran genetika di Indonesia berkaitan erat dengan aktivitas migrasi orang-orang dari daratan Asia. Migrasi itu dimulai sekitar 50.000 tahun silam, ke wilayah yang kini disebut Indonesia.
Pengembaraan manusia modern (homo sapiens) ke Indonesia merupakan bagian kisah epik para leluhur yang keluar dari Afrika ke seluruh dunia. Kira-kira dimulai pada 150.000 dan 200.000 tahun silam.
"Tidak hanya sekali (gelombang migrasi ke Indonesia), tapi berkali-kali," ungkapnya.
"Kompleks sebenarnya, cuma kita menggeneralisasi, kurang-lebih ada empat gelombang kedatangan."
Indonesia Tempat Berlalu-lalang
Kesimpulan seperti ini menguatkan temuan-temuan sebelumnya pada pengetahuan arkeologi dan linguistik yang mengindikasikan bahwa nenek moyang orang-orang Indonesia adalah pendatang.
Sejak dulu, wilayah Indonesia telah menjadi tempat manusia berlalu-lalang. Sebelum menuju Pasifik atau ke Australia, mereka akan melalui atau bahkan memilih menetap di Indonesia.
Gelombang pertama datang kira-kira 50.000 tahun silam. Para pendatang ini masuk lewat jalur selatan menuju Paparan Sunda- Kalimantan. Saat itu, Sumatra dan Jawa masih menyatu. Mereka pun mengembara sampai Papua dan Australia.
Di masa itu, daratan Papua dan Australia juga masih menyatu yang disebut Paparan Sahul.
"Orang-orang yang 'keluar dari Afrika' adalah yang pertama kali datang, ke wilayah [yang sekarang disebut] Indonesia, yang mendiami Papua dan Australia," ungkap Pradiptajati.
Kemudian gelombang kedua adalah orang-orang dari wilayah daratan Asia Tenggara sekitar 30.000-40.000 tahun lalu. Para ahli mengategorikan para pengembara ini dalam kelompok bahasa Austronesia, seperti Vietnam, Kamboja dan sekitarnya yang masuk ke Kalimantan, Sumatra, Jawa.
Gelombang Ketiga dan Keempat
Kemudian, sekitar 5.000 atau 6.000 tahun lalu, gelombang ketiga berdatangan dari wilayah China selatan dan Formosa (kini disebut Taiwan).
Menurut Pradiptajati, kaum imigran ini bergerak ke selatan melalui Filipina, Kalimantan, Sulawesi, dan bergerak ke barat ke Sumatra dan ke Mentawai.
"Adapun yang bergerak ke timur, masuk ke Maluku, Papua bagian pantai, hingga mengembara ke Hawaii," paparnya.
Gelombang keempat, terjadi pada masa sejarah antara abad ketiga dan 13. Saat itu pedagang China, Arab, dan India berdatangan ke wilayah yang kini disebut Indonesia. Jejak genetik para imigran gelombang keemat ini sangat jelas saat ini dalam populasi yang ada di Indonesia.
Namun demikian, Pradip menggarisbawahi, di antara gelombang kedua dan ketiga, serta antara gelombang ketiga dan keempat, masih ada pola migrasi yang disebutnya "masih misterius" sampai sejauh ini.
"Ini yang sedang kita dalami dengan pendekatan DNA purba dari bukti-bukti fosil sekian ribu tahun silam," tandasnya.
Dalam perjalanannya, saat penyebarannya berlangsung di wilayah Indonesia, terjadilah pembauran antar manusia dengan latar perbedaan secara DNA.
Seperti terekam dalam acara kajian sains 'Asal Usul Manusia Indonesia' yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Eijkman Institute dan Historia.id, dua tahun silam, pembauran itu membuat komposisi gen ikut berubah selain tampilan fisik, kebiasaan, bahasa dan bahasa.
Periode perubahan gen masyarakat Indonesia disebut berlangsung selama ribuan tahun. Selain hubungan pernikahan, perubahan itu disebabkan aspek lingkungan, kebiasaan, makanan, dan aneka jenis interaksi lainnya.