Dilansir dari blog.netray.id: Dari sekian banyak faktor yang membuat serial Netflix “Squid Game” fenomenal, salah satunya adalah karena cerita yang relatable. 456 peserta lomba permainan anak mematikan tersebut adalah orang-orang yang mengalami kesulitan finansial. Mereka terpaksa bertahan hidup demi memenangkan hadiah uang sebesar 45,6 miliar won atau setara Rp 549 miliar. Sebuah pertaruhan yang setimpal agar terbebas dari masalah ekonomi.
Banyak pihak menilai apa yang terjadi di dalam “Squid Game” adalah cerminan masyarakat Korea Selatan dewasa ini. Tak sedikit anggota masyarakat Korea Selatan, terutama yang tinggal di kota besar, seperti Seoul harus mendapati dirinya bercokol di level terbawah dari sebuah piramida sosial. Sederet permasalahan ekonomi memburamkan masyarakat di tengah gemerlapnya budaya K-pop.
Kritik atas Representasi Korsel di Serial Squid Game
Pemantauan pemberitaan media massa Netray menunjukan sejumlah artikel yang membahas kritik sosial dengan memanfaatkan popularitas serial “Squid Game”. Salah satunya datang dari pemerintah Korea Utara yang selama ini dipandang sebagai antitesis masyarakat Korsel. Pemerintah Korut menyebutkan bahwa “Squid Game” adalah gambaran kehidupan di Korsel yang menderita.
Selain itu media Korut, yang dikelola olah negara, menuliskan apabila serial tersebut menunjukkan bobroknya budaya kapitalis di mana kaum tak berduit diperlakukan tak ubahnya seperti pion catur orang-orang kaya. Komentar bahkan datang dari pemimpin tertinggi Korut, Kim Jong Un yang menilai “Squid Game” sesuai dengan penggambaran masyarakat Korsel yang kurang ajar dan dekat dengan korupsi.
Apabila media asing turut mengangkat analisis “Squid Game” sebagai cerminan masyarakat Korea Selatan, media massa di dalam negeri menampilkan kontrasnya. Hampir tidak ditemukan karya original dari jurnalis Indonesia yang membahas isu ini. Media Indonesia seperti ikut merayakan keberhasilan “Squid Game” bersama aksi masyarakat kala memparodikannya ke dalam sejumlah kesempatan.
Hutang Rumah Tangga Masyarakat Korsel
Salah satu indikator permasalahan ekonomi masyarakat adalah hutang rumah tangga. Pada bulan Desember 2020, hutang rumah tangga penduduk Korsel mencapai 106,6% GDP atau sekitar 1,74 miliar dolar AS (sumber: ceicdata.com). Hutang tersebut harus ditanggung oleh setidaknya 51,2 juta penduduk Korsel di tahun 2020. Dengan asumsi bahwa kelompok sosial tertentu akan menerima dampak lebih besar dari situasi ini ketimbang kelompok yang lain.
Sebut saja anggota masyarakat yang mengambil kredit untuk memiliki rumah sebagai tempat tinggal. Ternyata nilai kredit perumahan pada tahun 2018 saja bahkan sudah mencapai 1,32 miliar dolar AS, atau 75,9% dari total hutang rumah tangga Korsel saat ini. Harga properti yang terus merangkak disinyalir menjadi penyebab utama mengapa masyarakat Korsel harus menanggung hutang sebesar ini.
Sebagai contoh harga properti yang semakin mahal, antara lain berada di distrik Nowon-gu, Dobong-gu, dan Gangbuk-gu. Ketiga distrik ini mengalami peningkatan harta tertinggi yakni pada kisaran 21,7%. Sedangkan untuk distrik yang terlebih dulu terkenal mahal seperti Gangnam-gu dan Seocho-gu, keduanya mengalami peningkatan sebesar 13,8%. Apabila digunakan sebagai perspektif, harga properti di distrik Gangnam-gu dapat mencapai angka 81,4 juta won untuk setiap 3,3 meter perseginya. Atau jika pembaca menginginkan apartemen berukuran 85 meter persegi di distrik Gangnam, terlebih dahulu harus menyiapkan dana sebesar 24,3 miliar rupiah.
Demografi Masyarakat Seoul Terdampak Hutang Rumah Tangga
Lantas bagaimana dengan penduduk Seoul sendiri? Secara rata-rata, pendapatan penduduk Seoul adalah 4,3 juta won setiap bulannya. Sedangkan pengupahan di Seoul terendah bisa hanya sebesar 1,1 juta won dan tertinggi rata-rata mencapai 19,5 juta won (sumber: salaryexplorer.com). Lebih spesifik lagi 50% pekerja berpendapatan 4,3 juta won atau kurang, sedangkan 75% pekerja memiliki penghasilan 10,8 juta won atau kurang. Hanya sebagian kecil yang memiliki pendapatan di antara 10,8 hingga 19,5 juta won perbulan.
Yang artinya butuh 40 tahun lebih bagi penduduk Seoul berpenghasilan rata-rata apabila ingin membeli apartemen berukuran luas 85 meter persegi di distrik Gangnam-gu. Itu pun pendapatan mereka harus dikurangi lagi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Tentu mereka lebih memilih distrik lain yang harga propertinya masih terjangkau sebagai tempat tinggal.
Kaum muda biasanya memiliki juga peluang yang lebih besar apabila mereka terpaksa harus membeli tempat tinggal secara kredit. Pasalnya mereka tergolong usia produktif dan jauh dari usia pensiun. Penduduk Seoul sendiri diestimasikan sebanyak hampir 10 juta jiwa pada tahun 2021 ini.
Meskipun Korea Selatan adalah negara yang sangat maju dalam bidang ekonomi, secara sosial budaya masyarakat Korsel masih menghadapi permasalahan konservatisme. Cara pandang kuno seperti patriarkis masih menggejala di dalam masyarakat. Hal ini semakin memperburuk keadaan bagi kelompok minoritas di Korea Selatan. Proporsi penerimaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan terasa masih timpang untuk pekerjaan yang sama.
Dari laporan yang ditulis Bloomberg, bahwa kaum pekerja perempuan di Korea Selatan berpenghasilan 30% lebih sedikit daripada pekerja laki-laki. Pandangan bahwa laki-laki adalah pemimpin keluarga dan perempuan hanyalah pendukung ekonomi keluarga dinilai menjadi alasan utama diskriminasi.
Penutup
“Squid Game” menjadi serial fenomenal salah satunya karena menjadi representasi masyarakat Korea Selatan dewasa ini. Hutang rumah tangga yang sebagian besar bersumber pada kredit perumahan menjadi permasalahan ekonomi yang menghimpit banyak penduduk Kota Seoul. Harga properti yang terus melambung di sebagian besar distrik semakin tak terjangkau dengan sistem pengupahan berbasis gender.
Simak laporan isu-isu fenomenal lainnya di blog Netray.