Djawanews.com – Pada pembukaan Seminar Nasional, Prof Dr Tumiran, Ketua Enginnering Research and Inovation Centre (ERIC) Fakutals Teknik UGM memberikan pandangan perihal perlu “Membangun industri kelistrikan yang sehat untuk percepatan transisi energi”.
Menurut Tumiran, di dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan, jaminan ketersediaan energi listrik yang andal, cukup, berkualitas dan ekonomis menjadi prasyarat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, penciptaan lapangan kerja produktif, memperkuat industri dan menciptakan sektor bisnis yang sehat. Ketersediaan energi listrik yang cukup, handal, berkelanjutan dan ekonomis menjadi salah satu komponen penggerak industri, bisnis, perdagangan dan usaha usaha lain yang produktif.
Disadari bahwa dari segi produktivitas bila di lihat dari pemakaian sub sektor kelistrikan, dengan penduudk yang telah mencapai 270 Juta Jiwa, Indonesi masih tertinggal di lingkungan ASEAN. Konsumsi per kapita yang baru mencapai 1100 Kwh/kapita, berada rangking 6 setelah Singapore (9000 Kwh/kapita), Brunei, Malaysia (4800 Kwh/kapita), Thailand (2700 Kwh/kapita) dan Vietnam (1500 Kwh/kapita).
Dengan semangat mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai Indonesia Emas di tahun 2045-2050 serta komitmen yang kuat terhadap dukungan mengurangi dampak perubahan Iklim mencapai Net-Zero emission tahun 2050, maka pembangunan sektor kelistrikan memerlukan penataan yang konsisten, regulasi yang integratif, komprehenshif dan implementatif.
Untuk mencapai Indonesia Emas, diproyeksikan kebutuhan konsumsi energi listrik akan mencapai 5000 Kwh/kapita, sama dengan konsumsi negara Tiongkok dewasa ini, atau diatas Malaysia saat ini yang sudah mencapai konsumsi 4500 Kwh/kapita. Untuk memenuhi kebutuah tersebut, kebutuhan pembangkit di prakirakan bisa mencapai 350 sampai 450 GW, tergantung dari komposisi jenis pembangkit yang dipilih dan yang berhasil dibangun. Dengan target net zero emission yang akan meniadakan pembangkit Batubara, ada kemungkinan kapasitas pembangkit bisa melebihi 500 GW bila tanpa PLTN.
Sejalan dengan ikhtiar mencapai target untuk pemenuhan konsumsi energi listrik, Menurut Tumiran, yang juga Anngota Dwan Energi Nasional, periode 2009-2019, yang terlbat banyak menyusun PP. 79/2014, tentang KEN dan ikut terlibat menetapkan Perpres No. 22/2017 tentang RUEN, maka untuk percepatan transisi energi dan pemenuhan konsumsi menuju 2050, pembangunan Industri kelistrikan yang sehat menjadi salah satu indikator kesuksesan mencapai tujuan tersebut. Membangun industri kelistrikan yang sehat tidak tertumpu kepada perushaan kelistrikan nasional saja, tetapi konsistensi regulator yang melibatkan berbagai kementerian harus sejalan, terintegrasi dan komprhenshif. Konsistensi perundang undangan menjadi sangat penting. Jangan ada regulasi tetapi tidak dapat dijalankan.
Menurutnya, diisisi perusahaan kelistrikan Nasiona, terutama PT PLN (Persero) harus dikelola dan diberikan kewenangan untuk tumbuh sehat sebagaimana tuntutan korporas. Ciri dari perusahaan kelistrikan yang sehat diantaranya: (i) Mampu melayani semua tipe pelanggan pada wilayah yang sudah ditentukan, (ii) memberikan layanan yang memadai secara merata (dengan standard kehandalan dan mutu tertentu, (iii) melayani semua pelangganya dengan harga yang wajar tanpa diskriminasi (semua pelanggan mendapatkan mutu yang sama), (v) Penerapan tarif secara ekonomis tanpa adanya tarif diskiriminatif yang membebani perusahaan, (vi) memiliki kemampuan investasi pengembangan dan keberlanjutan untuk meningkatkan mutu pelayanan didukung margin yang cukup > 10%.
Bila perusahan PT PLN dapat dikembangkan tumbuh sebagai perusahhan yang sehat, tanpa mislanya terbebani urusan subsidi dan kompensasi mungkin ini menjai salah satu cara berhatap membangun indutsri kelistrikan nasional yang akan tumbuh berkembang.
Menyinggung tenatng transisi energi, Menurut Tumiran, Transisi energi mempunyai beberapa manfaat sebagai berikut: diversifikasi energi, penciptaan lapangan kerja di sektor energi hijau, penghematan biaya dalam jangka panjang, keamanan pasokan energi dan peningkatan daya saing industri lokal pada kompetisi industri global. Dalam proses transisi energi, EBT memegang peranan penting. Namun, implementasi pengembangan EBT untuk mendukung transisi energi, menghadapi beberapa tantangan saat ini, yaitu pertumbuhan kebutuhan listrik yang stagnan, pasar EBT belum terbentuk, kebergantungan pada energi fosil, subsidi energi fosil, keterbatasan infrastruktur EBT, dan investasi EBT yang relatif mahal.
Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk mendukung transisi energi. Percepatan transisi energi dapat dipercepat bila demand listrik dapat ditumbuhkan secara baik dengan pertumbuhan ekonomi berbasis produktivitas, pembentukan pasar baru sektor transportasi (pergeseran ke Electric Vehicle) dan juga percepatan transisi dari penggunan kompor gas ke kompor listrik.