Djawanews.com – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan cek senilai Rp2 triliun yang ditemukan KPK di rumah dinas Syahrul Yasin Limpo atau SYL, terindikasi tidak valid alias bodong.
“Nama tersebut terindikasi sering melakukan penipuan. Dokumen yang ada juga terindikasi palsu,” kata Kepala PPTK Ivan Yustiavandana saat dikonfirmasi VOI, Selasa, 17 Oktober.
Ivan mengatakan penipuan semacam ini kerap terjadi dan ditemukan di masyarakat. Biasanya, penipu akan minta bantuan target untuk mengurus cek dengan nominal sangat besar.
“Modusnya adalah minta bantuan uang administrasi buat bank, menyuap petugas, dan bahkan menyuap orang PPATK agar bisa cair,” tegasnya.
Sebagai gantinya, target biasanya akan dijanjikan keuntungan sebesar satu persen dari nominal yang ada. “Begitu seseorang tertipu, bersedia memberikan bantuan, mereka kabur,” ujar Ivan.
Diberitakan sebelumnya, KPK mengaku bakal mengecek validitas temuan cek senilai Rp2 triliun yang ditemukan penyidik saat melakukan penggeledahan pada Kamis, 28 September. Temuan ini baru ramai setelah ditulis sebuah media.
Sementara pada hasil penggeledahan yang disebar beberapa waktu lalu hanya disebutkan adanya temuan duit Rp30 miliar dan dokumen. Cek itu tidak disebut meski belakangan diklaim benar ditemukan penyidik.
Syahrul secara resmi ditahan setelah ditangkap di sebuah apartemen di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Politikus Partai NasDem itu terjerat tiga pasal yaitu pemerasan berkaitan dengan jabatan, penerimaan gratifikasi, dan pencucian uang.
Dalam kasus ini, Syahrul disebut KPK memeras pegawainya dengan mewajibkan membayar uang setoran setiap bulan dengan bantuan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat Pertanian Kementan Muhammad Hatta. Nominalnya yang dipatok Syahrul dan harus disetorkan pegawai eselon I-II berkisar 4.000-10.000 dolar Amerika Serikat.
Uang yang dikumpulkan diyakini bukan hanya berasal realisasi anggaran Kementan digelembungkan atau mark-up melainkan dari vendor yang mengerjakan proyek. Pemberian uang dilakukan secara tunai, transfer maupun barang.
KPK kemudian menduga uang yang diterima Syahrul digunakan untuk berbagai kepentingan pribadinya. Mulai dari umrah bersama pegawai Kementan lainnya, membeli mobil, memperbaiki rumah hingga mengalir ke Partai NasDem dengan nilai hingga miliaran rupiah.