Seperti yang diketahui bersama, beberapa waktu lalu sebelum adanya PLTU Celukan Bawang, kebutuhan listrik masyarakat Bali dipasok dari tiga sumber utama, yaitu kabel bawah laut Jawa-Bali, PLTU Gilimanuk dan PLTG Denpasar. Daya total ketiga sumber itu adalah 440 MW, sementara kebutuhan listrik di Bali rata-rata sebesar 380 MW.
Jika terjadi gangguan pada salah satu dari tiga pembangkit tersebut, maka dipastikan Bali akan mengalami masalah dengan listrik. Jika tidak gelap total, mungkin pemadaman secara bergilir.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membuat pasokan listrik di Bali tetap stabil yakni adanya PLTU Celukan Bawang yang berada di Dusun Pungkukan, Desa Celukan Bawang, Gerokgak, Buleleng.
Dampak Pembangunan PLTU Celukan Bawang
Pembangunan PLTU Celukan Bawang diyakini mampu menjawab masalah pasokan listrik di Bali.
PLTU Celukan Bawang satu dibangun dengan menggunakan batu bara dalam operasionalnya. Hal ini dikarenakan harganya yang lebih murah dari minyak bumi sehingga dapat menekan biaya produksi. Selain itu, pasokannya pun tidak menjadi masalah karena diambil dari Sumatra dan Kalimantan yang kaya akan batu bara.
Tentunya ada dampak positif dan negatif akibat PLTU Celukan Bawang.
Greenpeace Indonesia bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Bali, dan masyarakat sekitar beberapa waktu lalu, menolak pembangunan tahap dua PLTU Celukan Bawang di lokasi existing saat ini. Mereka menggugat keputusan Gubernur Bali yang mengizinkan PLTU Celukan Bawang membangun pembangkit sebesar 2×330 MW.
Seperti yang dilansir dari thepressweek.com, direktur LBH Bali, Dewa Putu Adnyana, mengungkapkan bahwa pemberian izin Amdal kepada PLTU Celukan Bawang untuk membangun pembangkit tahap kedua dinilai cacat, karena diterbitkan tanpa adanya pelibatan masyarakat yang terdampak proyek ini. Bahkan, menurut juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didit Haryo, pembangunan PLTU Celukan Bawang tahap kedua merupakan ancaman bagi lingkungan dan manusia. Benarkah?
Menanggapi kekhawatiran berbagai pihak yang menolak, Kepala Badan Lingkungan Hidup Bali, Gede Suarjana, menerangkan bahwa pembangunan tahap dua PLTU Celukan Bawang yang berkapasitas 2×330 MW diprediksi tidak akan menghasilkan emisi yang melebihi ambang batas.
Suarjana juga memaparkan bahwa walaupun nantinya menghasilkan karbon monoksida, sulfur dioksida, partikulat, dan nitrogen oksida, gas-gas tersebut tidak akan berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan di sekitarnya.
Dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan masih aman karena jarak emisi yang berada pada ketinggian maksimal. Gas-gas tadi akan dibawa angin kemudian diikat oleh partikel lain.
Gubernur Pastika juga menegaskan bahwa teknologi PLTU Celukan Bawang tahap dua akan menggunakan teknologi mutakhir sehingga menghasilkan udara yang bersih. Teknologi PLTU Celukan Bawang yang menggunakan batu bara ini, hasil pembakaran melalui proses bakar kembali. Dua kali pembakaran membuat udara keluar lebih bersih dan memenuhi baku mutu.
Selain dapat membantu memenuhi kebutuhan listrik di Bali yang semakin besar akibat pariwisata, PLTU Celukan Bawang juga dapat membuat daerah sekitar Celukan Bawang menjadi kawasan industri karena pasokan listrik yang cukup. Terlebih daerah tersebut sudah menjadi pelabuhan yang besar.
Pembangunan kawasan industri di sekitar pelabuhan merupakan alasan yang cukup rasional untuk memotong biaya pengangkutan. PLTU Celukan Bawang ini juga dapat menambah lapangan kerja baru, meskipun perlu waktu untuk mempersiapkan tenaga terampil agar dapat bekerja di sana.