Djawanews.com - Negosiasi pembebasan lahan PLTA Mentarang di Malinau, Kalimantan Utara, memasuki fase krusial. Konsorsium PT Kayan Hydropower Nusantara (KHN) berhadapan dengan tuntutan masyarakat adat ahli waris yang menilai tawaran ganti rugi terlalu rendah. Ruang hidup yang bakal tergenang disebut ditawar Rp 350 per meter persegi.
Komunitas adat menolak Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) itu, menegaskan patokan minimal Rp 100.000 per meter persegi setelah sebelumnya menurunkan tuntutan demi kompromi.
Perwakilan masyarakat menyoroti dua pokok masalah: acuan Nilai Jual Objek Pajak yang rendah di Kecamatan Mentarang Hulu serta perbedaan tafsir status wilayah adat yang berada di kawasan lindung. Masyarakat menyatakan hak ulayat melekat jauh sebelum penetapan kawasan, sehingga kompensasi layak wajib dijamin.
Di sisi lain, KHN menyebut proses masih berjalan melalui LARAP, rencana terperinci pengadaan lahan, relokasi, mitigasi dampak, dan kompensasi bagi warga terdampak.
PLTA Mentarang: Investasi Hijau di Persimpangan Sosial
Di balik sengkarut lahan, PLTA Mentarang berstatus Proyek Strategis Nasional dengan nilai investasi sekitar 2,6 miliar dolar AS. Pembangunan ini sedianya memasok listrik untuk Kawasan Industri Hijau Bulungan. Karena itu, kejelasan tata kelola sosial menjadi penentu ritme konstruksi.
Ke depan, transparansi metodologi penilaian lahan, standar kompensasi, serta mekanisme keberatan formal perlu disepakati. Ini penting agar proyek tetap berjalan, sembari menjamin hak masyarakat dan menjaga kepercayaan publik.
Pakar kebijakan publik biasanya menyarankan tiga jalur agar kebuntuan terurai: penilaian independen atas nilai ganti rugi, pendampingan hukum bagi warga, serta forum konsultasi yang terdokumentasi dengan balasan tertulis dari semua pihak.
Pendekatan itu menjaga akuntabilitas dan memberikan jejak audit sosial. Pada akhirnya, energi hijau idealnya tumbuh dari proses yang adil, tertib, dan menghormati ruang hidup warga.
Masa depan PLTA Mentarang bergantung pada kesepakatan ganti rugi yang objektif, terdokumentasi, dan menghormati hak ulayat. Dengan koridor LARAP yang transparan, proyek bisa melaju tanpa mengorbankan keadilan sosial. Apakah Anda perlu ringkasan poin aksi untuk negosiasi yang berimbang?
Demikian informasi seputar pembahasan mengenai PLTA Mentarang. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Djawanews.com.