Djawanews.com – Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyebut adanya dugaan keterlibatan prajuritnya terkait kasus penyalahgunaan penyelewengan dalam pengelolaan satelit yang merupakan proyek Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015.
"Hari Selasa kemarin saya sudah dipanggil oleh Menko Polhukam, intinya sama beliau menyampaikan bahwa proses hukum ini segera akan dimulai dan memang beliau menyebut ada indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum," kata dia di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (14/1).
Andika menegaskan dirinya siap mendukung keputusan pemerintah dalam rangka melakukan proses hukum.
"Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami," kata Andika.
Sementara itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menambahkan, pihaknya langsung mengeluarkan surat perintah penyidikan atas kasus dugaan penyalahgunaan penyelewengan dalam pengelolaan satelit yang merupakan proyek Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015.
"Nanti sore kita akan sampaikan bahwa hari ini kami tanda tangani surat perintah penyidikannya. Kemudian nanti kalau posisi kasusnya atau pun apa pun nanti tolong tanyakan ke Jampidsus nanti sore," kata Burhanuddin.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengungkapkan adanya dugaan penyalahgunaan penyelewengan dalam pengelolaan satelit yang merupakan proyek Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015. Hal ini, membuat negara diharuskan membayar kerugian dengan jumlah lebih dari Rp 800 milar.
"Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu. Padahal, anggarannya belum ada. Anggarannya belum ada, dia (Kemhan) sudah kontrak," kata Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis (13/1).
Adapun kontrak tersebut mencakup PT Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Level, dan Telesat dalam kurun 2015 sampai 2016. Mahfud mengatakan kontrak tersebut dilakukan Kemhan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Menurut dia, nilai kontrak untuk membangun proyek tersebut sangat besar dan belum masuk di APBN 2015 saat itu. Kemudian, PT Avanti menggugat pemerintah Indonesia melalui London Court Internasional Arbitration karena Kemhan tak kunjung membayar sewa satelit sesuai nilai kontrak yang sudah diteken.
Kemudian, pengadilan arbitrase Inggris memutuskan bahwa pemerintah harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling satelit. Dengan total biaya yang harus dibayar pemerintah sebesar Rp 515 miliar.
"Jadi, negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," ujar Mahfud.
Tak hanya itu, pemerintah juga diharuskan membayar USD 20.901.2019 atau sekitar Rp 304 miliar kepada pihak Navayo. Pasalnya, pihak Navayo yang telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tak sesuai dengan Certificate of Performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan pada 2016-2017.
Pihak Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kementerian Pertahanan. Namun, pemerintah justru menolak membayar sehingga Navayo mengajukan gugatan ke arbitrase Singapura dan pemerintah diharuskan membayar USD 20 juta sesuai keputusan pengadilan.
"Selain kita dijatuhi putusan arbitrase di London dan di Singapura tadi, negara itu berpotensi ditagih lagi oleh Airbus, Detente, Hogal Level, dan Telesat sehingga banyak sekali beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," tutur Mahfud.
Baca artikel terkait Kemhan. Simak berita menarik lainnya hanya di Djawanews dan ikuti Instagram Djawanews.