Djawanews.com – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan Presiden Jokowi telah memerintahkan dirinya untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum di proyek satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015.
Mahfud menyampaikan pemerintah sudah beberapa kali membahas kasus satelit Kemhan tersebut saat rapat.
"Sampai dengan saat ini pemerintah sudah beberapa kali mengadakan rapat untuk membahas masalah ini. Saya juga sudah bertemu dan berdiskusi dengan Menteri Pertahanan, Menkominfo, Menteri Keuangan, Panglima TNI, dan Jaksa Agung," kata Mahfud saat konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis 13 Januari.
"Hari Rabu kemarin, saya melaporkan kepada Bapak Presiden, dan Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini," sambung dia.
Dia mengungkapkan kerugian negara hampir Rp 1 triliun akibat proyek tersebut. Kerugian diakibatkan oleh kontrak yang berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan Satelit untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur yang terjadi sejak 2015 sampai saat ini.
Singkatnya, Kemhan meneken kontrak dengan Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat meskipun belum tersedia anggaran.
"Tentang adanya dugaan pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian negara atau berpotensi menyebabkan kerugian negara karena oleh pengadilan, ini kemudian diwajibkan membayar uang yang sangat besar," terang Mahfud.
"Padahal kewajiban itu lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah dan melanggar hukum, yaitu Kementerian Pertahanan pada 2015, sudah lama, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu, padahal anggarannya belum ada," imbuh Mahfud.
Gugatan Avanti ke pemerintah Indonesia karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan biaya sewa dalam kontrak tersebut. Mahfud menyebut sejauh ini negara diwajibkan membayar kepada dua perusahaan itu dengan nilai ratusan miliar rupiah.
"Kemudian Avanti menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani sehingga pada 9 Juni 2019," ucap Mahfud.
"Pengadilan Arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar untuk sewa satelit Artemis ditambah dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp 515 miliar. Jadi negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," lanjut Mahfud.
Mahfud mengatakan, selain Avanti, pemerintah digugat Navayo. Berdasarkan putusan arbitrase di Singapura, pemerintah diminta membayar Rp 304 miliar.
"Nah, selain dengan Avanti, pemerintah baru saja diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar lagi nilainya sampai sekarang itu 20.901.209 dolar (USD) kepada Navayo, harus bayar menurut arbitrase. Ini yang 20 juta ini nilainya Rp 304 (miliar)," tutur Mahfud.
Menurut Mahfud, negara berpotensi ditagih lagi oleh perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan, yaitu Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Di sisi lain Mahfud menyebutkan persoalan ini tengah diselidiki Kejaksaan Agung (Kejagung).