Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI jadi alat propaganda yang sempat diputar di stasiun televisi nasional.
Bukan hal baru jika seni digunakan sebagai media untuk mengabadikan, membingkai, hingga mengubah perspektif sejarah. Seni seolah memiliki kekuatan untuk memulai dari awal bagaimana suatu peristiwa terjadi. Seni juga dapat menjadi alat propaganda yang efektif. Di Indonesia sendiri, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI jadi contoh bagaimana seni membingkai sebuah peristiwa sejarah.
“Gambar … termasuk film, punya kesempatan yang lebih baik, dan jauh lebih cepat, ketimbang bacaan untuk membuat orang memahami pesan-pesan tertentu,” tulis Hitler dalam bukunya yang berjudul Mein Kampf.
Mulai dari puisi, pamflet, lukisan, teater, dan semua bidang seni hampir bisa digunakan sebagai pembingkai sejarah. Namun jika merujuk pada pendapat Hitler dalam jurnal Mein Kampf-nya, gambar, yang di dalamnya termasuk film, memiliki efektifitas yang baik.
Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI memberi pemaknaan sejarah secara sepihak
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI atau biasa disebut Pengkhianatan G 30 S PKI adalah film propaganda diproduksi oleh PPFN pada tahun 1984. Film ini ditulis sekaligus disutradarai oleh Arifin C. Noer. Salah satu pemeran di dalamnya adalah Umar Kayam. Film yang dibiayai negara ini bahkan sering diputar di televisi. Baru berhenti pada masa pemerintahan Habibie
Film Penumpasan Penghianatan G30S/ PKI menuai berbagai ragam kontrofersi. Banyak yang menganggap bahwa film ini justru menggambarkan fakta sejarah secara terbalik. Misalnya, bagaimana DN Aidit digambarkan sebagai perokok berat. Padahal DN Aidit justru bukan seorang pecandu tembakau.
Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI juga menggambarkan bagaimana para perwira Angkatan Udara yang dihasut oleh PKI menculik para Jendral Angkatan Darat. Dalam film digambarkan kebringasan para penculik terhadap korban.
Seperti yang ditulis dari historia.id, para perwira tinggi AD yang diculik ke Lubang Buaya digambarkan mengalami penyiksaan kejam. Kekejaman tersebut kini dideskripsikan diorama di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Ben Anderson mencoba memberi penjelasan dalam “How did the General Dies?” jurnal Indonesia, April 1987. Ben mengungkapkan bahwa keadaan jenazah hanya dipenuhi luka tembak. Tidak ada bekas penyiksaan seperti penyiletan, pemotongan alat kelamin, atau pencungkilan mata seperti yang digambarkan dalam film. Semua organ tubuh para perwira tinggi AD utuh.
Salah satu adegan yang dianggap sangat menyeramkan selanjutnya adalah bagaimana film menampilkan “pesta besar” di Lubang Buaya, tempat korban dibuang. Gerwani sebagai salah satu aktifis yang dekat dengan PKI digambarkan menari tarian erotis. Padahal Gerwani sendiri tidak terlibat sedikitpun dengan peristiwa tersebut.
Dari beberapa contoh yang telah disajikan, Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI justru memberikan pemaknaan sejarah secara sepihak, mutlak, bahkan tidak benar. Film ini juga tidak bisa menjadi patokan bagaimana sejarah kelam PKI di Indonesia terjadi. Karena Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI dibuat tidak secara objektif.