Djawanews.com – Soal Indonesia keruk batu bara dan menjadi top 3 dunia itu memang benar, yakni hanya di bawah peringkat China dan India pada tahun 2020 lalu. Namun, pemerintah baru saja mengambil langkah yang dinilai cerdas lantaran menghentikan ekspor batu bara. Pasalnya, Kebutuhan batu bara yang di keruk di dalam negeri sejatinya harus bisa menjadi kepentingan kebutuhan pasokan dalam negeri, sebelum melakukan kegiatan ekspor.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov memaparkan pemenuhan batu bara domestik untuk mendukung operasional PLTU merupakan bentuk tanggung jawab Pemerintah yang telah memberi penugasan kepada PT PLN (Persero) dalam mega proyek listrik 35 ribu megawatt (MW).
“Artinya, penugasan penambahan kapasitas listrik terpasang tersebut tentu harus juga disertai dengan jaminan pasokan batu bara untuk operasional PLTU,” kata Abra ke CNBC Indonesia, Selasa, 4 Januari.
Indonesia Keruk Batu Bara Hentikan Ekspor, Bakal Digunakan Untuk Produksi Listrik dalam Negeri
Menurut Abra, kondisi genting defisit pasokan batu bara untuk produksi listrik nasional ini menunjukkan bahwa masih ada sebagian dari pemegang konsesi batu bara belum memenuhi komitmennya dalam mendukung ketahanan energi nasional.
Dengan begitu, negara sebagai pemilik kekayaan SDA sudah sewajarnya memastikan kecukupan batu bara untuk hari operasional PLTU di atas 20 hari (HOP). Di tengah pemulihan ekonomi, di mana seluruh sektor membutuhkan pasokan listrik yang andal. Untuk itu, adanya potensi pemadaman listrik akibat shutdown PLTU akan menjadi malapetaka sosial ekonomi politik yang luar biasa besar.
“Kebijakan ini menjadi pelajaran penting bagi stakeholder industri batu bara. Apabila ingin bisnisnya berkelanjutan, maka taatilah kebijakan pemerintah dan komitmen untuk pemenuhan batu bara bagi negara,” katanya.
Adanya kekhawatiran hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pertambangan, diperkirakan tidak akan melebihi dampak negatif padamnya pembangkit listrik sebesar 10,8 Giga Watt (GW).
Pasalnya, pelanggan yang terdampak langsung dari terganggunya aktivitas pembangkit tersebut mencapai 10 juta pelanggan. Di sisi lain, Abra juga menyebutkan kontribusi perpajakan dari sektor pertambangan hanyalah sebesar 4,8 persen.
“Sektor lain, perindustrian, perdagangan itu 22% masing-masing. Kalau tidak ada listrik, mereka juga ga bisa beroperasi,” tambahnya.
Dapatkan warta harian terbaru lainya, ikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.