Tidak banyak yang tahu jika tanggal 14 September adalah Hari Kunjungan Perpustakaan.
Hari Kunjungan Perpustakaan sebenarnya sudah ada lebih dari 20 tahun lalu, sejak Presiden Soeharto mencanangkan pada tahun 1995. Lalu apakah Hari Kunjung Perpustakaan dapat menambah minat baca?
Hari Kunjungan Perpustakaan, Sekadar Euforia?
Salah satu persoalan yang dari dulu melanda bangsa Indonesia adalah rendahnya minat baca. Ironis memang, jika Hari Kunjung Perpustakaan hanya sebatas formalitas, tanpa perayaan dan tanpa diketahui siapapun.
Tentu banyak hal yang diakibatkan dari rendahnya minat baca masyarakat, terutama pada era digital ini. Dalam waktu sepuluh tahun terakhir media memainkan peran sentral dalam pembentukan karakter bangsa.
Teknologi media memainkan peranan ketika masyarakat dituntut menyerap semua informasi yang masuk. Ironisnya, tidak semua informasi yang ada di media dapat dipertanggungjawaban alis banyak hoax atau kebohongan.
Peran media menjadi sentral, lantaran teknologi terlampau cepat dan semua orang sudah dimanjakan dengan gawai di tangan mereka. Perpustakaan dengan buku-buku lamanya tentu akan semakin dikalahkan dengan kecanggihan dan daya pikat gawai.
Terkait dengan keprihatinan dan minimnya minat baca di Indonesia, Djawanews secara ekslusif merangkum beberapa poin terkait Hari Kunjungan Perpustakaan dan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.
- Peringkat Minat Baca Indonesia
Berdasarkan data Statistik Sosial Budaya BPS tahun 2012 masyarakat Indonesia ternyata belum menjadikan membaca sebagai kegiatan utama mendapatkan informasi.
BPS mencatat jika sebanyak 91,68% penduduk dengan usia lebih dari 10 tahun ke atas lebih menyukai menonton televisi, dan sisanya sekitar 17,66 persen yang menyukai membaca surat kabar, buku atau majalah.
Bersumber dari data lain dalam suara.com (21/2/2018), berdasarkan penelitian yang dilakukan Central Connecticut State University, menyatakan jika Indonesia menempati urutan ke-60 dari total 61 negara terkait dengan minat baca masyarakat dunia.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 dengan judul “Most Literate Nations in The World” tersebut, jika dikalkulasi berarti membuktikan jika minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,01 persen, atau 1:1000.
- Budaya Tuturan Lisan
Nenek moyang dan leluhur Bangsa Indonesia memang dikenal sebagai penutur lisan yang baik. Hal tersebut dibuktikan hingga sampai sekarang cerita-cerita mengenai legenda dan mitos masih terjaga baik dibandingkan catatan tertulis.
Tradisi membaca saling terkait dengan tradisi menulis. Analogi sederhananya adalah, jika tidak ada penulis, tidak ada pembaca juga bukan? Jika dilihat secara historis tradisi menulis diketahui ada sejak era menulis di batu atau melalui prasasti.
Prasasti tertua di Indonesia yang pernah ditemukan dengan catatan tahun abad ke-5 M, dan periode terbanyak adalah abad ke-8—14 M. Ketika itu tradisi Hindu dan Buddha mengajarkan tradisi menulis di nusantara.
Namun, waktu itu menulis ternyata begitu eklusif dan banya dikuasai oleh beberapa kalangan, biasanya orang pemerintahan dan orang berpendidikan tinggi yang disebut sebagai “pujangga”.
Sehingga bagi masyarakat biasa pada masa itu, tentu tidak mudah agar dapat membaca. Maka, cara penguasa menyiasati dalam melakukan kontrol adalah pengenalan tuturan langsung atau budaya mendengarkan.
Hal tersebut berlangsung berabad-abad lamanya, hingga masuknya Islam. Sebagaimana diketahui, Walisongo menyebarkan ajaran Islam dengan medium tuturan melalui pertunjukan wayang.
Namun, kita sebaiknya tidak terlalu pesimis dengan beberapa fakta di atas, Hari Kunjungan Perpustakaan tetaplah euforia yang penting. Setidaknya hal tersebut menjadi PR bagi perpustakaan nasional agar dapat bersaing dan mengambil hati masyarakat pada era digital saat ini.