Djawanews.com – Perdebatan mengenai pasar kripto atau Cryptocurrencies untuk masuk ke Indonesia dan menjadi komoditas investasi sepertinya belum sepenuhnya lancar. Pasalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) memiliki pandangan yang berbeda dan berketerbalikan.
Para pengamat dunia kripto sendiri mengaku heran dengan pernyataan OJK yang tidak akan memfasilitasi transaksi kripto sebagai komoditas investasi. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai pernyataan OJK itu menandakan ketidakselarasan antar instansi pemerintah.
“Di satu sisi, Bappebti berupaya memfasilitasi industri ini, tapi di sisi lain ada institusi lain yang punya pandangan lain. OJK dan Bappebti ini ngobrol dululah, tren aset kripto ini kan sudah jalan beberapa tahun terakhir,” ujar Nailul lewat pada Selasa, 8 Februari.
Nailul memahami sudut pandang OJK yang masih mempersepsikan bahwa aset kripto berpotensi sebagai alat tukar layaknya uang fiat, karena disebutnya sebagai cryptocurrency. Sedangkan alat tukar resmi adalah rupiah sebagaimana diatur perundang-undangan. “Tapi kan sejak awal ketika Bapppebti memfasilitasinya, kesepakatannya di Indonesia hanya boleh digunakan sebagai aset investasi. Bukan alat transaksi,” jelas Nailul.
Bappebbti dan OJK Dipastikan Harus Ngobrol Sambil Ngopi Saat Bahas Kripto
Ia setuju bahwa OJK dan Satgas Waspada Investasi (SWI) berhak melarang perdagangan yang bersifat ilegal, termasuk dilakukan oleh pedagang kripto yang tidak terdaftar. “Selama ini Bappebti sudah merilis mana saja pedagang kripto dan koin kripto yang terdaftar dan berizin resmi di Bappebti. Seharusnya, itu sudah cukup jadi acuan untuk melakukan pengawasan dan mengendalikan keterlibatan bank,” tambah Nailul.
Oleh karena itu, ia menilai ada kejanggalan dengan imbauan dari otoritas agar perbankan tidak memfasilitasi transaksi aset kripto, padahal sejak awal Bappebti merumuskan kripto sebagai komoditas investasi. “Bagaimana bisa investor membeli atau berinvestasi aset kripto kalau tidak bisa menggunakan rekening bank sebagai jembatan untuk beli atau jual aset kripto ke pedagang,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengungkapkan gesekan dengan OJK akan berdampak pada telatnya peluncuran bursa kripto. Sebab, fungsi lembaga keuangan, dalam hal ini bank nantinya akan sebagai kustodian untuk perdagangan aset kripto.
“Jadi saya tidak heran kenapa launching bursa kripto ini molor terus dari semester II 2021 lalu, rupanya ada deadlock antara Bappebti dan OJK dalam melaksanakan perdagangan aset kripto yang diakui negara, dalam hal ini bursa kripto,” kata Ibrahim.
Ia menilai kendala tersebut akan menyebabkan semakin sulitnya aset kripto diterima di masyarakat. “Bahkan akan makin berjamuran aktivitas perdagangan kripto yang sulit dipantau keamanannya. Negara makin sulit untuk meregulasi aset kripto ini,” ungkap Ibrahim.
Teguh K. Harmanda, Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), mengungkap pihak asosiasi menghargai pernyataan dari otoritas. Namun, ia menegaskan bahwa sejauh ini asosiasi telah berupaya untuk menempatkan perdagangan kripto sesuai aturan main dan melengkapi perlindungan hukum.
“Sudah semestinya kita harus menjaga industri agar tumbuh secara sehat, contohnya pada industri aset kripto yang sudah menerapkan rekomendasi terhadap APU/PPT,” ungkap Teguh.
Ia menerangkan bahwa asosiasi sejauh ini sudah menjalankan pelaporan yang diwajibkan oleh Bappebti setiap harinya, dan melapor jika menemukan transaksi mencurigakan, jadi seharusnya cuma masalah waktu sampai kripto menjadi komoditas investasi yang legal di Indonesia. Hal yang diperlukan sekarang tinggal kesepakatan dari pemerintah saja antara satu dengan lainnya.
Dapatkan warta harian terbaru lainya, ikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.