Dilansir dari blog.netray.id: Peristiwa pelecehan seksual di perguruan tinggi muncuat secara sporadis. Kasus ini akan muncul dan menjadi sorotan ketika korban memberanikan membuka suara. Namun, tak semua korban pelecehan seksual di perguruan tinggi berani angkat bicara dan melaporkan kejadian ini. Sehingga sampai saat ini tidak ada informasi data akurat terkait jumlah kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.
Kasus terakhir yang masih menjadi sorotan publik di bulan ini ialah tentang pengakuan seorang mahasiswa dari Universitas Riau (Unri). Mahasiswa jurusan hubungan internasional tersebut mengaku menjadi korban pelecehan seksual dari dosen pembimbing skripsinya yang berinisial SH. Pengakuan tersebut diceritakan oleh korban dalam video yang diunggah pada akun instagram @mahasiwa_universitasriau (Kamis, 4 November 2021). Dalam video tersebut korban menceritakan kronologi pelecehan yang dilakukan oleh SH saat korban melakukan bimbingan skripsi pada Rabu, 27 Oktober. Sontak kejadian ini pun kembali menjadi sorotan publik lantaran Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi baru saja diberlakukan.
Menteri Nadiem Makarim menyampaikan bahwa terdapat 77 persen dosen mengakui tentang adanya tindakan kekerasan seksual dalam lingkungan kampus. Yang lebih mirisnya lagi 63 persen di antaranya tidak melaporkan kejadian ini karena adanya ketakutan mendapati stigma negatif dari masyarakat. Atas survey yang dilakukan oleh Kemendikbud tersebut, desakan untuk mengesahkan Permendikbud No.30 Tahun 2021 pun penting untuk dilakukan.
Akan tetapi, seperti regulasi yang lainnya, poin-poin dari setiap peraturan ini pun tak lepas dari kritisi bahkan menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Atas kejadian ini, Media Monitoring Netray tertarik untuk ikut memantau seperti apa regulasi ini diberitakan oleh media berita? Dan bagaimana publik yang diwakilkan oleh warganet Twitter menilai poin-poin dari peraturan ini? Berikut ulasan selengkapnya.
Permendikbud No.30 Tahun 2021 dalam Berita
Dengan menggunakan kata kunci Nadiem dan permendikbud, Netray mencoba menulusuri seberapa besar animo media menyoroti regulasi yang konon menimbulkan polemik ini. Hasilnya ialah dari periode pemantauan 12-18 November 2021 topik ini telah diberitakan oleh media dalam 545 artikel dan 167 di antaranya terindikasi sebagai berita yang memiliki sentimen negatif. Topik yang dimuat oleh 77 media berita Indonesia tersebut mengalami fluktuasi dan puncak pemberitaan yang melahirkan 139 artikel di tanggal 15 November 2021. Apa yang tengah menjadi sorotan di tanggal tersebut?
sumber Dashboard Netray
Untuk menjalankan regulasi ini Menteri Nadiem telah memberikan keterangan bahwa akan ada sanksi bagi pelaku pelanggaran, tak terkecuali kampus sebagai wadahnya. Dalam pernyataannya yang dirilis di kanal YouTube Kemendikbud RI Senin, 15 November, Nadiem Makarim mengatakan bahwa akan menurunkan akreditasi kampus bagi pihak yang tidak menjalankan Permendikbud Ristek No.30 tahun 2021. Yang mana sanksi tersebut telah tertuang di dalam Pasal 19 Permendikbud 30 tahun 2021, yang berbunyi sebagai berikut:
Perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikenai sanksi administratif berupa:
a. penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi dan/atau
b. penurunan tingkat akreditasi untuk perguruan tinggi.
sumber Dashboard Netray
Polemik Bias Frasa “Tanpa Persetujuan Korban”
Tak hanya berhenti pada berita terkait sanksi pelanggar peraturan, media massa juga menyoroti terkait polemik yang terjadi atas pemberlakuan regulasi ini. Salah satunya ialah persoalan frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang tercantum dalam beberapa pasal di Permendikbud No.30 tahun 2021 tersebut. Frasa yang semula dipergunakan untuk memberikan kepastian akan jaminan perlindungan kaum perempuan dan orang tuanya tersebut dinilai menjadi kontra produktif. Akibatnya beberapa kalangan, seperti Muhammadiyah, MUI, dan Aisyiyah meminta agar regulasi ini dicabut ataupun direvisi.
Pasal 5 dari Permendikbud 30/2021 menjabarkan berbagai jenis tindakan kekerasan seksual yang dilakukan ‘tanpa persetujuan korban’. Frasa inilah yang memunculkan penilaian adanya ‘legalisasi seks’ dalam peraturan tersebut. Mengutip dari BBC Indonesia, Wakil Ketua Komisi Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan MUI Pusat, Wido Supraha mengatakan bahwa poin penolakan MUI atas regulasi tersebut terletak pada pasal 5. Ia menerangkan bahwa kata tersebut bermakna transaksi atau aktivitas seksual di luar nikah apabila selama dilakukan suka sama suka (sexual consent) akan menjadi tidak masalah dan tidak dapat dipayungi oleh hukum (regulasi tersebut).
Dukungan Penerbitan Regulasi
Di balik polemik yang beredar, tak semua kalangan menolak ataupun mengkritik tentang pemberlakukan peraturan baru ini. Beberapa universitas pun memberikan dukungan kepada Menteri Nadiem karena telah memberikan payung hukum bagi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Seperti yang termuat dalam Tribun Medan, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Muryanto Amin mengatakan bahwa Universita Sumatera Utara (USU) mendukung penuh adanya regulasi baru tersebut. Ia juga menambahkan dengan adanya Permendibudristek No.30 maka ada standar ukuran yang jelas untuk melindungi mahasiswa dari kekerasan seksual.
Polemik Permendikbud di Kalangan Warganet
Tak hanya ramai diberitakan oleh media massa, topik ini pun juga riuh di kanal Twitter. Berdasarkan penulusuran Netray, topik ini ramai diperbincangkan warganet hingga menyentuh angka 22.507 tweet dalam periode pemantauan 4-17 November 2021. Bahkan perbincangan tentang Permendikbud ini telah menyentuh sebanyak 35,6 juta impresi dari warganet dengan total jangkauan mencapai 131 juta akun. Polemik regulasi ini pun tentu saja memberikan dampak negatif terhadap peraturan yang dibuat Menteri Nadiem Makarim, terlihat total sentimen dari topik mendominasi hingga mencapai 13 ribu tweet.
sumber Dashboard Netray
sumber Dashboard Netray
Regulasi yang telah ditetapkan sejak 3 September 2021 lalu ini mulai ramai diperbincangkan warganet di bulan November ini. Berdasarkan penulusuran Netray, tweet pertama yang menyinggung topik ini ialah datang dari akun @hipohan. Dalam tweet-nya tersebut Lukman Simandjuntak telah me-repost artikel dari sebuah media massa yang berisikian pernyataan bahwa Majelis Ormas Indonesia (MOI) menolak Permendikbud No.30 tahun 2021 karena dinilai dapat melegalkan seks bebas.
Di hari yang sama, tweet yang mendapat banyak impresi hingga mencapai puluhan ribu ialah tweet dari akun @KOMAHI_UR yang membagikan berita tentang mahasiswa UNRI yang mendapatkan pelecehan seksual di lingkungan kampus. Hal ini menuai sorotan warganet lantaran kejadian ini berselang tak lama setelah Permendikbud No.30 Tahun 2021 ditetapkan.
Lalu, seperti apa perdebatan topik ini di kalangan warganet lainnya hingga memicu tweet sebanyak puluhan ribu tersebut? Berdasarkan fitur Top Words yang dimiliki Netray, terlihat topik ini didominasi dengan perbincangan yang mengandung kosakata seks, bebas, persetujuan, menolak, bahkan melegalkan. Hal ini tentu saja tak jauh dengan garis besar pemberitaan media massa yang mana sebagian warganet juga merasakan keresahan akan peraturan yang dinilai multitafsir tersebut.
Berbagai spekulasi tentang adanya pertanyaan ‘mengapa regulasi ini mendapat penolakan?’ mulai dikemukakan oleh warganet. Salah satunya ialah akun @IMCMushroom yang mengatakan bahwa penolakan regulasi ini tentu saja bukan tanpa sebab. Ia menilai bahwa penolakan tersebut muncul karena adanya pasal yang dinilai dapat membahayakan. Bahkan dirinya mempertanyakan terkait oknum sebenarnya yang membuat regulasi tersebut hingga menimbulkan berbagai polemik.
Kubu kontra yang menyumbang sentimen negatif pada topik ini salah satunya ialah dari kubu yang menginginkan agar regulasi ini dihapus oleh Menteri Nadiem. Warganet menilai adanya pasal multitafsir yang dapat membahayakan korban sehingga peraturan ini tidak sepenuhnya dapat melindungi korban. Bahkan, akibat frasa kontroversi tersebut warganet pun juga tergiring akan adanya legalilasi seks yang termuat dalam peraturan tersebut. Sehingga penghapusan dan juga revisi Permendikbud digaungkan oleh warganet.
Warganet; logika tolol penolak Permendikbud
Pro kontra lahirnya regulasi baru bukanlah hal yang baru terjadi di negeri ini. Tak semua warganet merasa ganjal dengan peraturan baru tersebut. Beberapa warganet setuju dan mendukung penetapan Permendikbud No.30 tahun 2021. Sebagian kalangan merasa dengan adanya regulasi baru yang ditujukan untuk kampus ini dapat menjadi payung hukum bagi kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Warganet menilai regulasi ini merupakan salah satu peraturan yang juga dapat memburu para predator seks di lingkungan kampus.
Tak hanya itu, penolakan publik yang merujuk pada frasa yang dinilai multitafsir tersebut justru dinilai sebagai ‘logika tolol’ oleh salah satu warganet. Hal ini lantaran banyaknya komentar warganet yang beropini bahwa peraturan tersebut akan menjadi kabur apabila sebuah kasus dilandasi dengan alasan suka sama suka. Dengan adanya kejadian ini beberapa warganet juga meminta masyarakat agar lebih kritis dan berpikir secara logis terkait peraturan yang telah diterbitkan pemerintah.
Pro dan kontra terhadap regulasi ini menjadi fokus pemberitaan media massa dan juga perbincangan warganet Twitter. Penafsiran tentang ‘pelegalan seks’ mengusung adanya penolakan yang kemudian warganet berbondong membagikan opininya tentang hal tersebut. Namun sebaliknya juga, terdapat warganet yang menilai Permendikbud ini telah dituliskan dengan semestinya sehingga dapat memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Kritik tentunya tak dapat lepas dari lahirnya sebuah kebijakan. Namun, apabila hingga menjurus pada penolakan bukankah hal ini patut menjadi pertimbangan pemerintah?
Demikian pantauan Media Monitoring Netray terkait pro dan kontra penetapan Permendikbud No.30 tahun 2021. Simak analisis isu terkini lainnya hanya di https://blog.netray.id/