Djawanews.com – Alghiffari Aqsa selaku anggota Tim Advokasi Novel Baswedan mengatakan bahwa ada beberapa kejanggalan dalam proses penyidikan kasus penyiraman air keras yang oleh Komnas HAM disebut sebagai abuse of process.
Tim Advokasi Novel menilai penanganan kasus ini tidak profesional. Salah satunya berkaitan dengan cara memperlakukan alat bukti yang tidak baik.
“Di antaranya barang bukti yang hilang atau berkurang, yaitu cangkir dan botol yang diduga digunakan pelaku sebagai alat untuk menyiram yang tidak disimpan dan didokumentasikan dengan baik,” ungkap Alghiffari dalam siaran pers pada Selasa (26/02/2020) malam.
Tim Advokasi Novel Baswedan Menilai Pasal yang Menjerat Terlalu Ringan
Dikutip Djawanews dari Kompas.com Data pengguna telepon, rekaman CCTV, dan saksi-saksi tidak seluruhnya digunakan dan didengar keterangannya. Menurut Tim Advokasi Novel, polisi ingin membuat kesan tidak ada bukti. Selain itu, tidak dijelaskan pula hubungan dua tersangka yang telah ditangkap dengan bukti-bukti yang diperoleh saat periode awal penyidikan.
“Misalnya, hubungan terduka pelaku yang ditangkap dengan sketsa dan keterangan-keterangan primer saksi-saksi, serta temuan Tim Satgas Gabungan Bentukan Kapolri 2019,” jelas Alghiffari.
Tim Advokasi Novel Baswedan juga mempertanyakan penggunaan pasal pengeroyokan (Pasal 170 KUHP) yang dikenakan pada kedua tersangka. Ini dinilai terlalu ringan sebab terdapat fakta-fakta yang mengindikasikan adanya keterkaitan antara penyerangan dengan status Novel sebagai penyidik di KPK yang tujuannya untuk melumpuhkan, mematikan, dan direncanakan.
“NB (Novel Baswedan) sebagai korban telah menekankan bahwa penyiraman air keras tidak hanya melukai wajah dan mata, tetapi juga masuk ke hidung dan mulut sehingga tidak bisa bernafas seketika dan hampir (membuatnya) kehilangan kesadaran,” tandas Alghiffari.
Dengan kejanggalan ini, masyarakat kembali diingatkan dengan hasil kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan yang dinilai tidak maksimal tahun lalu.