Djawanews.com – Farindo Reskha Jenark atau yang biasa dikenal sebagai Jenar Kidjing adalah salah satu seniman asal Yogyakarta yang membuktikan jika pandemi Covid-19 bukan alasan untuk mandek berkesenian.
Bersama Komunitas Sakatoya, Jenar Kidjing telah mencuri perhatian para penikmat seni yang kangen dengan pertunjukan melalui digital intimate music perfomance yang bertajuk Vulcrum-A Sonic Anthology.
Terkait dengan proses berkesenian di masa pandemi, Djawanews berkesempatan melakukan wawancara eklusif dengan Jenar Kidjing. Berikut kutipan wawancaranya.
Apa yang membedakan proses selama pandemi Covid-19, dengan tidak ada pandemi, Kak? Lebih susah, atau malah mudah?
Kalou untuk prosesnya, aku rasa lebih susah Kak. Karena dari aku sendiri, meminimalisasi pertemuan dengan musisi kolaborator, ibarat biasanya kita bisa latian sebulan, kalau ini tak padetin jadi 1 minggu.
Terus pada produksi, temen-temen juga mau nggak mau harus deal dengan media baru, video, dan dengan alat seadanya pula, Kita nggak ada modal, karena ya emang sadar mau nyari sponsor kemana ya kan? Terdampak semua..
Kalau untuk rasa, pertunjukan dengan alih media gini, untuk aku yang biasa live, sense-nya nggak dapet sih Kak. Tapi ya kembali lagi, ini semua tak maknai sebagai sebuah usaha terbaik di masa sulit ini, supaya aku bisa terhubung dengan teman-teman yang mendengarkan karyaku.
Wih keren, jadi semua modal patungan gitu ya?
Mmmm kalau modal awal kita nggak keluar banyak baget si Kak. Cuma buat konsumsi pas tanggal-tanggal produksinya, karena untuk SDM-nya kita sambatan (sukarela) dan kebetulan lengkap mulai dari sound engineer, lighting designer, produser, penulis, researcher, manajer produksi, dan untuk alat-alat yang kami nggak punya, kami mengandalkan kekuatan minjem dari teater atau kantong-kantong kebudayaan lain yang pernah berpartner dengan kami.
Dari semua paket penjualan Vulcrum-A Sonic Anthology nih, yang secara pribadi menarik bagiku, yaitu adanya beras. Berawal dari ide apa datangnya beras tersebut? Jangan-jangan memiliki makna filosofis kuat? Hehe
Yhaaaa… ide itu muncul… sederhananya karena kami nggak ingin di masa sulit ini, teman-temen penikmat karya menikmatinya pas dalam keadaan laper.
Terus soal beras setelah ditelisik lagi, ada kaitannya juga dengan cerita Otniel dan Saroji (yang punya brand beras Mbok Jum). Mas Saroji itu adalah penari, terus ada semacam bayar utang rasa kepada kedua orang tuanya yang seorang petani. Dia turut ambil bagian dalam memasarkan beras-beras produksi orang tuanya tersebut bersama Otniel Tasman.
Aduh, tak kira Kak Kidjing punya lumbung padi sendiri…
Lhaaa cerita beras Mbok Jum itu mungkin senapas dengan pembuktianku pada orang tuaku, kalau ranah musik itu bisa untuk kehidupan layak Kak. Walaupun sekarag aku juga masih memperjuangkan hal itu.
Jadi, anggapan masyarakat jika seni dinilai belum mampu menghidupi masih kuat ya?
Mungkin untuk generasi di atas kita iya Kak. Tapi aku terawang nih, ada pergeseran dalam memandang hal itu di generasi kita. Seiring dengan cara pandang terhadap materialism, kini mulai banyak penganut minimalism, support dari pemerintah terus juga ekosistem seni yang dibangun pelan-pelan oleh kakak-kakak pegiat seni pertunjukan di Jogja.
Jadi, iklim berkesenian di Jogja yang identik dengan gotong royong dan penciptaan relasi yang kuat, sangat membantu berproses selama pandemi Covid-19 ini Kak?
Yaaaa… Sangat membantu!
Katakanlah, pandemi ini tahun depan belum usai, apakah sudah ada rencana yang sudah disiapkan ke depan, tertutama dalam pertunjukan seni?
Kalau aku pribadi belum ada rencana kak. Masih berharap semua pageblug ini bisa terlewati. Karena bagiku seni pertunjukan hakikatnya bertemu, kalau pun manusia benar-benar tidak bisa bersentuhan lagi, ya memang sudah saatnya kiamat!
Ada pesan khusus dari seorang Kidjing bagi para pejuang seni di seantero planet ini?
Waaakk, apa ya pesan nya? Tetap bergeliat dan terkoneksi satu sama lain saja.
Semoga semesta mengabulkan doa kita…
Aamiin…