Djawanews.com – Kalau negara ingin masa depan pendidikan yang berakar pada nilai, karakter, dan kemandirian, maka negara harus berpijak pada akarnya. Terlalu lama pesantren dianggap pelengkap penderita dalam sistem pendidikan nasional, padahal pesantren adalah akar yang menegakkan pohon bangsa.
Pernyataan ini disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sekaligus Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A., saat menanggapi rencana pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di Kementerian Agama.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut, pembentukan Ditjen Pesantren bukanlah bentuk kemurahan hati pemerintah, tetapi kewajiban moral dan konstitusional negara untuk menghormati sejarah panjang pesantren sebagai benteng moral, intelektual, dan kebangsaan.
“Kita menyambut baik dan mengapresiasi rencana ini dengan tangan terbuka. Tapi sebenarnya, ini bukan hadiah, melainkan pemerintah sedang memenuhi kewajiban moral dan konstitusional. Sebab, pesantren telah lebih dulu hadir sebelum republik ini berdiri. Dari pesantren, lahir para ulama, guru bangsa, dan pejuang kemerdekaan. Sampai hari ini, pengakuan itu belum diwujudkan secara kelembagaan. Ini bukan soal birokrasi, ini soal keadilan sejarah. Negara tak boleh lagi memperlakukan pesantren sebagai pelengkap penderita,” tegas Gus Hilmy melalui keterangan tertulis pada media, Kamis (23/10/2025).
Anggota Komite II DPD RI tersebut menilai, negara selama ini terlalu memusatkan perhatian pada lembaga pendidikan formal, sementara pesantren dibiarkan berjuang sendiri tanpa dukungan kelembagaan yang memadai. Padahal menurutnya, pesantren tidak bisa disamakan dengan lembaga pendidikan formal lain. Pesantren memiliki fungsi ganda: mendidik dan memberdayakan masyarakat.
“Negara sering datang ke pesantren hanya ketika membutuhkan legitimasi moral. Tapi ketika pesantren menghadapi kesulitan, negara sering absen. Pola seperti ini harus diakhiri. Negara wajib berdiri sejajar, bukan sekadar datang memberi piagam. Dari banyak sisi, pesantren berbeda kan sama sekolah formal? Keunikan pesantren terletak pada perpaduan antara pendidikan moral, spiritual, dan sosial yang berjalan seiring dengan penguatan karakter kebangsaan,” jelasnya.
Sebagai salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Gus Hilmy menegaskan bahwa wacana pembentukan Ditjen Pesantren sudah lama diperjuangkan oleh banyak pihak dan kerap berhenti di tataran diskusi. Padahal, menurutnya, amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sudah jelas bahwa pesantren berhak atas pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan dari negara.
“Mencermati kasus-kasus terakhir di dunia pesantren, pemerintah memang patut segera mewujudkan pembentukan Ditjen ini. Tujuannya bukan untuk mengintervensi, melainkan memastikan tata kelola, pembinaan, dan pengawasan berjalan baik tanpa menghilangkan kemandirian pesantren,” ungkapnya.
Gus Hilmy menilai pembentukan Ditjen Pesantren bukan hanya kebutuhan administratif, tetapi langkah strategis untuk memperkuat ekosistem pendidikan Islam yang telah berabad-abad berakar di Nusantara. Selama ini, kebijakan pemerintah tentang pesantren masih tersebar di berbagai direktorat tanpa satu lembaga yang benar-benar fokus menangani.
“Dengan adanya Ditjen Pesantren, pengelolaan akan menjadi lebih fokus dan tepat sasaran. Pesantren akan memiliki mitra strategis di pemerintah yang memahami kultur dan tradisi mereka,” ujarnya.
Lebih jauh, Gus Hilmy menilai bahwa keberadaan Ditjen Pesantren juga akan memberikan efek berantai yang positif bagi daerah.
“Pembentukan Ditjen Pesantren dapat menginspirasi daerah membuat kebijakan yang akomodatif terhadap pesantren. Pemda-pemda bisa mengambil inisiatif kebijakan berbasis kearifan lokal yang memperkuat peran pesantren di wilayahnya, bukan hanya menunggu instruksi dari Kanwil Kementerian Agama. Pesantren harus menjadi bagian dari pembangunan daerah, bukan sekadar urusan pusat. Ini bisa diwujudkan melalui Perda tentang pesantren di seluruh daerah di Indonesia,” papar Gus Hilmy.
Meski demikian, Gus Hilmy mengingatkan agar Ditjen Pesantren tidak terjebak dalam logika administratif semata. Pendekatan kepada pesantren, menurutnya, juga harus dilakukan secara kultural.
“Negara perlu hadir dengan pendekatan kultural, bukan hanya struktural. Pendekatan yang menghargai nilai-nilai khas pesantren seperti keikhlasan, kebersamaan, dan kemandirian,” tambahnya.
Sebagai senator asal D.I. Yogyakarta, Gus Hilmy menegaskan komitmennya untuk mengawal proses pembentukan Ditjen Pesantren agar benar-benar berpihak pada kepentingan umat.
“Pesantren telah menjadi benteng moral bangsa. Jika negara memberikan pelembagaan yang kuat dan kebijakan yang berpihak, maka pesantren akan semakin kokoh menjadi pusat peradaban Islam di Nusantara,” tutupnya.