Djawanews - Ketua Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Pringsewu, Lampung Ridwan Harahap mengatakan, angka perceraian di daerahnya masuk dalam kategori tinggi. Rata-rata tiap tahun, pengadilan menerima 700 perkara perceraian.
Jumlah itu merujuk data statistik Pengadilan Agama Pringsewu selama masa pandemi Covid-19 ini. Rinciannya, Tahun 2019 terdapat 711 kasus, 2020 terdapat 731 kasus, dan sampai Juni 2021 ini sudah ada 484 kasus.
"Berarti setiap tahunnya, ada kurang lebih 700 duda dan 700 janda di Kabupaten Pringsewu," kata Ridwan, Senin, 5 Juli.
Mengapa bisa terjadi? Ridwan bilang penyebabnya banyak hal. Di antaranya perselisihan dan pertengkaran terus menerus, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga, judi, poligami, dihukum penjara, mabuk, murtad, dan madat.
Ia menyebut pandemi Covid-19 juga berdampak pada kasus perceraian di Pringsewu. Akibat Covid, banyak usaha dan ekonomi keluarga yang melemah sehingga mengurangi keharmonisan.
Sementara 75 persen kasus perceraian yang terjadi ini adalah cerai gugat yakni dari permintaan istri. Akibat perceraian ini lanjutnya, berbagai dampak negatif bagi diri dan masyarakat pun bermunculan.
"Contohnya anak-anak jadi tidak terurus. Narkoba meningkat, karena ternyata sebagian dari anak-anak yang mengkonsumsi narkoba berasal dari keluarga broken home," ungkapnya seperti dilansir dari NU Online.
Selain tingginya perceraian, pihaknya juga banyak menemukan perkawinan yang tidak tercatat alias pernikahan siri. Pernikahan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama ini banyak dilakukan pasangan muda dengan hanya memenuhi syarat rukunnya saja seperti persetujuan wali, ijab kabul, dan saksi. Ini terungkap setelah yang bersangkutan meminta isbath nikah ke Pengadilan Agama karena membutuhkan dokumen untuk berbagai kepentingan.
Ia khawatir jika kebiasaan ini dibiarkan, maka akan banyak masyarakat yang tidak menikah resmi melalui KUA namun memilih untuk menempuh isbath nikah di Pengadilan Agama. Ia mengaku belum tahu penyebab fenomena ini, apakah karena kurangnya akses ke KUA atau memang faktor kesengajaan.
Selain tingginya angka perceraian di Pringsewu, Ridwan juga mengungkapkan berbagai masalah yang banyak ditangani oleh pihaknya. Di antaranya adalah semakin meningkatnya angka permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama sejak dikeluarkannya UU No. 16 tahun 2019 ini.
Seperti diketahui perubahan mendasar dalam perubahan undang-undang tentang perkawinan ini adalah terkait umur yang tertuang pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019. Sebelumnya, pria boleh menikah minimal umur 19 tahun, sementara wanita usia 16 tahun. Dalam UU perubahan ini, terdapat usia minimal yang sama pada pria dan wanita saat menikah yakni 19 tahun. Adapun jika pasangan menikah kurang dari umur 19 tahun maka orangtua pihak pria dan wanita dapat meminta dispensasi ke pengadilan dengan memberikan alasan serta bukti pendukung yang kuat.
Tata niat dengan baik Menyikapi tingginya perceraian di Pringsewu ini, Katib Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pringsewu KH Auladi Rosyad mengatakan bahwa pentingnya orang yang akan menikah untuk menata niat dengan baik. Ia mengingatkan bahwa pernikahan adalah ibadah kesunahan yang telah dicontohkan oleh nabi.
“Ketika niat dan keteguhan sudah benar-benar tertata, insyaallah penikahan akan terjaga dengan baik,” katanya.