Djawanews - Polisi menetapkan 11 tersangka kasus pemerkosaan ABG di Sulawesi Tengah dengan pasal perlindungan anak. 11 tersangka terbukti melakukan aksi kekerasan seksual terhadap anak berusia 15 tahun di Kabupaten Paringi Moutong, Sulawesi Tengah.
"Berdasarkan pasal 81 ayat 2 undang undang RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang undang nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak," kata Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Pol Djoko Wienartono.
Sebelumnya, Kapolda Sulteng, Irjen Pol Agus Nugroho menegaskan anak adalah generasi pelanjut yang harus dilindungi. Dia pun mengaku ingin meluruskan simpang siur pemberitaan perihal dugaan kekerasan seksual yang dialami remaja perempuan oleh 11 tersangka di Parigi Moutong.
Agus mengatakan tak patut kasus itu disebut sebagai pemerkosaan, melainkan persetubuhan anak di bawah umur.
"Saya ingin luruskan terkait kesimpangsiuran pemberitaan yang masih menggunakan istilah atau penyebutan kasus pemerkosaan atau pun rudapaksa terkait perkara yang sedang kita lakukan," kata Kapolda Sulteng saat memberikan keterangan persnya, Jumat (2/6).
Tidak menggunakan istilah pemerkosaan atau rudapaksa pada kasus tersebut, menurut Agus agar masyarakat tidak bingung dalam memahami kasus ini.
"Bahwa kasus yang terjadi bukanlah kasus pemerkosaan atau ruda paksa. Apalagi, ada yang menyampaikan bahwa kasus ini adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh 11 orang yang bersama-sama. Saya ingin luruskan penggunaan istilah pemerkosaan, melainkan persetubuhan anak di bawah umur," ungkapnya.
Menurutnya jika kasus itu menggunakan istilah 'pemerkosaan', maka penanganannya mengacu pada pasal 285 KHUPidana.
"Pasal 285 sudah menjelaskan bahwa unsur dalam kasus pemerkosaan adanya tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau pun memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengan orang yang di luar perkawinan," jelasnya.
Selain itu, kata Agus, dalam kasus ini tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman terhadap korban.
"Kasus ini berdiri sendiri-sendiri. Tidak dilakukan secara bersama-sama. Modus operandinya juga tidak dengan kekerasan tapi dengan bujuk rayu, tipu daya, iming-iming akan diberikan sejumlah uang dan barang. Bahkan ada tersangka berjanji akan menikahi korban jika hamil," kata dia.
Dalam kasus itu polisi telah menetapkan 11 orang sebagai tersangka. Salah satu tersangka adalah anggota Brimob berinisial MKS. Selain anggota Brimob, seorang kepala desa dan guru SD turut menjadi tersangka dalam kasus yang sama.
Terpisah, pada akhir pekan lalu, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenkumham Dhahana Putra menyebut yang terjadi di Parigi Moutong merupakan pemerkosaan. Dia mengatakan definisi tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Jelas bahwa Pasal 4 Ayat (2) UU 12 Tahun 2022 tentang TPKS disebutkan perkosaan atau persetubuhan terhadap anak dikategorikan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual," kata Dhanana dalam Siaran Pers Ditjen HAM, Sabtu (3/6).
Oleh karena itu, menurut Dhahana aparat penegak hukum tidak perlu ragu menggunakan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang pemerkosaan, seperti UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak, maupun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Kami yakin aparat penegak hukum dapat mengusut kasus ini sampai tuntas secara transparan dengan mengedepankan asas kepentingan terbaik bagi anak korban sehingga para pelaku perbuatan keji itu akan dihukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar Dhahana.
Selain itu, Dhahana mengaku telah memerintahkan jajarannya untuk berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Tengah untuk mendorong upaya pemenuhan hak bagi korban.
"Untuk menjamin mekanisme pemulihan yang komprehensif bagi anak perempuan yang menjadi korban, utamanya hak atas kesehatan fisik dan psikis," kata Dhahana.