MKEK dan IDI sempat menolak Terawan Agus Putranto menjadi Menteri kesehatan. Penolakan tersebut dikarena metode terapi otak yang dicetuskan Dr. Terawan dinilai langgar kode etik kedokteran.
Dr Terawan Agus Putranto akhirnya menjabat sebagai Menteri Kesehatan di Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Namun saat hari pelantikannya, sempat beredar surat dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak Dr Terawan menjadi Menkes. Surat tersebut berisi pemberitahuan bahwa Terawan Agus Putranto sedang menjalani sanksi karena langgar kode etik kedokteran. Pelanggaran tersebut terkait dengan terapi otak yang ia lakukan. Padahal terapi otak belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
Dilansir dari detik.com, surat tersebut meminta kepada Bapak Presiden untuk tidak mengangkat Dr Terawan. Surat tersebut juga menyantumkan nomor surat Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran.
“Bila diperkenankan kami ingin menyarankan agar dari usulan calon calon tersebut mohon kiranya Bapak Presiden tidak mengangkat Dr Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K) sebagai Menteri Kesehatan. Adapun alasan yang mengiringi saran kami adalah karena Dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K) sedang dikenakan sanksi akibat melakukan pelanggaran etik kedokteran. Sanksi tersebut tertera dalam Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran PB IDI No.009320/PB/MKEK-Keputusan/02/2018 tanggal 12 Februari 2018,” tulis surat tersebut.
Perjalanan Sekilas Terapi Cuci Otak
Dr Terawan memang sempat dikenal karena melakukan terapi “cuci otak”. Berdasarkan surat protes yang dilayangkan oleh IDI, cuci otak dilakukan menggunakan Digital Subtraction Angiography (DSA).
Terapi tersebut dinilai belum teruji secara ilmiah dan dikhawatirkan akan membahayakan pasien. DSA sendiri bukan alat yang diciptakanuntuk terapi, hanya sebagai alat diagnosis saja.
Di sisi lain, terapi yang dilakukan Dr Terawan memberikan dampak positif bagi pasiennya. Salah satu testimoni pasien yang melakukan terapi diberikan oleh Anung Anindito. Melalui tirto.id, Anung mengatakan ada perubahan yang baik pada tubuhnya.
“Lebih segar dan sehat,” ujar Anung, (09/04/2018).
Meski sempat berhasil, metode yang dilakukan mantan Kepala RSPAD Gatot Soebroto tersebut tetap dikritik. Moh. Hasan Machfoed salah satu yang mengritik metode tersebut. Ia adalah profesor neurologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
Melalui Tirto, Ia mengatakan bahwa metode Dr Terawan tak masuk akal. Hal itu didasarkan pada alat DSA yang digunakan tidak pada tempatnya. Dalam dunia kedokteran, DSA sudah lazim digunakan. Di bidang neurologi, DSA disebut cerebral angiography, digunakan untuk memeriksa gejala gangguan pembuluh darah otak (stroke iskemik).
Dr Terawan kemudian menanggapi masalah itu. Dilansir dari detik.com, ia mengatakan bahwa tujuan terapi adalah untuk meningkatkan keselamatan pasien untuk tindakan DSA.
“Tujuannya dulu adalah untuk meningkatkan safety pada pasien untuk tindakan DSA itu sendiri. Tapi dengan meningkatkan safety untuk pasien, lho hasilnya malah positif untuk pasien. Jadi penemuannya sebenarnya ya berkah Yang Kuasa,” kata Dr Terawan yang diambil dari detik.com, (23/10/2019).
Penelitian DSA diakui telah dilakukan oleh 6 orang, termasuk Dr Terawan sendiri. Penelitian dilakukan untuk meraih gelar doktor di Universitas Hasanuddin.
Sedangkan ia mulai memperkenalkan alat tersebut sejak 2004. Dirinya mengklaim telah mengobati pasien sebanyak 40 ribu pasien dengan metode ‘cuci otak’. Beberapa pasien yang ia tangani seperti Prabowo dan Moeldoko.
Tahun 2018 metode Terawan tersandung. Bahkan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menjatuhkan sanksi kepada Dr Terawan Agus Putranto, SpRad (dr TAP) atas ‘pelanggaran etik serius’.
Dr Terawan dipecat dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selama satu tahun. Namun pemecatan dinyatakan ditunda setelah dilakukan mediasi.
Rencana pembuktian ilmiah atas metode Dr Terawan kabarnya akan dilakukan. Namun kami belum mendapat kabar terbaru mengenai kapan pembuktian tersebut dilakukan. Di akhir 2018, metode cuci otak kabarnya dilakukan untuk 1.000 warga di Vietnam. Program tersebut dilakukan dalam rangka medical tourism atau wisata kesehatan.