Dilansir dari blog.netray.id: Salah satu pertanyaan tentang negara modern dan hubungannya dengan agama adalah apakah negara memiliki hak untuk mencampuri urusan keyakinan individu atau tidak. Apakah mempercayai sebuah agama merupakan urusan publik atau diserahkan kembali ke pribadi masing-masing. Jawaban atas pertanyaan ini bisa berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang yang digunakan.
Semisal, karena berkeyakinan adalah hak asasi, tentu saja tidak ada orang yang mau diatur-atur oleh pihak lain terkait bagaimana ia menjalankan kepercayaannya. Atau sebaliknya, agama memiliki nilai moral yang berisi aturan tentang hubungan antar individu di dalam masyarakat agar tercipta kondisi yang harmonis dan sejahtera. Sehingga agama memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perilaku sosial.
Dilema semacam ini yang kerap mengisi ruang-ruang perdebatan publik di Indonesia. Sebagai negara yang menganut sistem republik, Indonesia tidak bisa begitu saja memisahkan pemerintahan dengan agama. Alasannya tentu karena falsafah bangsa dan negara kita, yakni Pancasila sangat menjunjung tinggi religiusitas melalui sila pertama. Dampaknya, kasus demi kasus yang bersumber pada praktik beragama baik oleh individu maupun kelompok masyarakat muncul ke permukaan dan menyita perhatian publik.
Salah satu yang terbaru adalah kabar Sukmawati Soekarnoputri pindah agama. Putri Presiden Soekarno tersebut diberitakan memilih untuk memeluk agama Hindu setelah sebelumnya menjalani hidup sebagai seorang muslimah. Melihat sosoknya sebagai seorang politisi dan public figure, bisa dipastikan bahwa berita ini mengundang perhatian dari khalayak ramai. Netray Media Monitoring ingin memantau bagaimana respons publik terhadap isu ini dan siapa saja yang terlibat aktif di dalamnya. Termasuk juga bagaimana wacana pindah keyakinan secara umum dalam kerangka dilema negara dan agama. Simak hasil pemantauan Media Monitoring Netray di bawah ini.
Persepsi Warganet atas Isu Pindah Agama
Menggunakan kata kunci pindah agama, Netray memantau linimasa Twitter selama periode 20 Oktober hingga 26 Oktober 2021. Pemilihan kata kunci ini bertujuan untuk merangkum perbincangan warganet terkait topik secara umum, tidak sekadar membicarakan berita pindah agama yang dilakukan oleh Sukmawati. Hanya saja hasil pemantauan tetap menunjukan bahwa kabar tersebut tetap mendominasi perbincangan warganet. Seperti yang ditemukan dari grafik Top Words dan Top Accounts.
Jika dicermati lebih lanjut terdapat dua kubu yang sedikit berseberangan dalam menanggapi berita ini. Yakni mereka yang acuh tak acuh dengan keputusan Sukmawati dan mereka yang mencela sosoknya. Mereka yang tidak peduli, meski masih berkomentar, antara lain akun @Stevaniehuangg, @TaufikDamas, dan @UyokBack. Tweet komentar ini terbit bagaimanapun juga karena tidak bisa menghindari pemberitaan dari media massa. Bahkan pihak Sukmawati sendiri yang terkesan membuatnya menjadi konsumsi publik.
Sangat wajar apabila akhirnya muncul tweet–tweet yang menunjukan sikap konfrontasi. Seperti tweet dari akun @Hilmi28 dan @Valosenadya1. @Hilmi28 tidak secara langsung menyebut sosok Sukmawati di dalam tweet-nya, tetapi bukan kebetulan pernyataan tersebut dibuat pada waktu yang sama dengan kabar Sukmawati pindah agama. Sedangkan tweet dari @Valosenasya1 secara terang-terangan mencela bahkan menghina Sukmawati.
Diskriminasi Penghayat Keyakinan
Apa yang terjadi pada Sukmawati ini hanyalah puncak dari gunung es. Pengalaman berkeyakinan menjadi urusan publik bahkan negara. Tweet dari akun @agama_nusantara bercerita tentang seorang anak sekolah dasar yang mendapat tekanan dan diskriminasi dari pihak sekolah hanya karena ia dan keluarganya adalah penghayat kepercayaan. Selain kerap diminta untuk pindah agama, ia kerap merasa dipojokkan saat mengikuti pelajaran agama. Anak tersebut ternyata masih dipaksa masuk kelas agama Islam yang mengajarkan ilmu tauhid bahwa orang non muslim adalah kafir dan halal darahnya untuk ditumpahkan.
Praktik diskriminatif semacam ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Sebelum agama Konghucu diakui oleh pemerintah pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, para penganutnya biasanya diminta untuk memeluk agama lain seperti Kristen dan Budha. Diskriminasi juga hadir dalam tataran administrasi kependudukan. Hingga tahun 2006, penganut kepercayaan di Indonesia tidak bisa memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena kolom agama harus diisi dengan 6 agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Konsekuensinya mereka tidak bisa mengakses pelayanan publik yang seharusnya menjadi hak sebagai warga negara. Tak sedikit para penganut kepercayaan ini terpaksa mengisi kolom tersebut dengan agama mayoritas.
Meskipun penghayat kepercayaan terhitung sebagai kelompok minoritas, setidaknya untuk konteks Indonesia jumlah mereka tergolong cukup banyak. Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mencatat ada 187 organisasi penghayat kepercayaan di Indonesia. Dari angka itu dilaporkan sedikitnya 12 juta orang di Indonesia adalah penghayat kepercayaan (sumber: detikcom). Apabila dibandingkan, jumlah ini 2 juta lebih banyak jika daripada penduduk Provinsi DKI Jakarta.
Media Massa dan Sosial Media
Peran media massa dewasa ini dinilai sangat penting terkait bagaimana mereka membuat framing atas isu sensitif semacam ini. Bahkan untuk kasus Sukmawati pindah agama, nampak media massa mampu menyetir animo masyarakat. Hal ini dapat terlihat dengan menyimak linimasa pemberitaan dan volume perbincangan selama periode pemantauan. Dari grafik Peak Time Netray, terpantau bahwa isu ini mendapatkan coverage tertinggi pada dua momen. Yakni pada tanggal 23 Oktober, momen kala Sukmawati mengumumkan rencana pindah agamanya, dan di tanggal 26 Oktober saat ia resmi memeluk agama Hindu setelah melalui prosesi atau upacara agama.
Bukan kebetulan di tanggal yang sama volume perbincangan warganet Twitter juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Meskipun ternyata terdapat perbedaan yang mencolok di sini. Pemberitaan media massa cenderung bermain aman dengan banyak menyertakan artikel dengan sentimen positif daripada sentimen negatif, yakni sejumlah 184 artikel berbanding 38 artikel. Sedangkan sentimen warganet terlihat cukup didominasi sentimen negatif, dengan 1,575 tweet berbanding sentimen positif yang hanya 198 tweet saja. Penjelasan fenomena ini antara lain karena warganet antara tak begitu peduli dengan isu pindah agama Sukmawati atau memang antipati dengan sosoknya.
Penutup
Berita Sukmawati Soekarnoputri pindah agama mengingatkan kembali masalah klasik hubungan antara negara dan agama. Meskipun secara konstitusi negara Indonesia memisahkan urusan agama dan pemerintahan. Akan tetapi, pada praktiknya justru negara sangat mencengkram kehidupan beragama. Sudah menjadi barang umum apabila perihal pribadi menjadi konsumsi publik seperti yang terjadi pada Sukmawati. Dan kerap menjadi api dalam sekam yang memicu friksi di level masyarakat.