Djawanews.com – Eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan pertemuan tertutup dengan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di Solo, Selasa 15 November. Analis Politik Karyono Wibowo menilai pertemuan itu hanya sebatas basa-basi politik.
"Sekadar basa basi politik. Pertemuan tersebut hanya gimmick politik," ujar Karyono, dikutip dari VOI, Rabu, 16 November.
Penilaian itu lantaran tidak ada pembahasan politik dalam pertemuan tersebut. Menurut Karyono, pertemuan itu hanya trik Anies agar selalu menjadi perbincangan media dengan mendompleng putra sulung Presiden Joko Widodo yng masih menjabat sebagai pemimpin daerah.
"Tidak ada hal substansi yang dibahas, tidak ada komitmen politik. Pertemuan tersebut sekadar membentuk opini publik, agar Anies tetap menjadi perbincangan di media," ujarnya.
Karyono mengatakan, agenda utama Anies sebenarnya mengikuti acara Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi di Masjid Ar Riyadh, Pasar Kliwon, Solo. Maka dari itu, menurut Karyoto pertemuan dengan Gibran bukan prioritas Anies.
"Anies bertemu Gibran dalam istilah jawa hanya 'nyuwun sewu', artinya permisi karena Gibran sebagai walikota Solo," katanya.
Justru, menurut Karyono, yang perlu dicermati bukan pertemuan Anies dengan Gibran. Namun kehadiran Anies di acara Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang membawa misi politik untuk kepentingan politik 2024.
Anies, lanjutnya, ingin mengambil ceruk pemilih di Solo yang menjadi basis nasionalis dan kandang banteng di Jawa Tengah.
"Namun, tidak mudah bagi Anies untuk 'menundukkan' Solo. Karenanya, Anies mencoba menggunakan teori 'makan bubur panas'. Dia awali dengan mendekati basis islam di Surakarta dan sekitarnya yang berpotensi bisa digalang lebih dulu, baru merambah ke yang lain," jelas Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) itu.
Dengan kehadiran Anies di acara Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, tambah Karyono, menjadi indikator mantan Mendikbud itu akan menggunakan politik identitas sebagai strategi penggalangan dukungan.
"Tapi, hemat saya, Anies sudah berusaha untuk menggeser personal branding-nya dengan melakukan reposisi image ingin dipersepsikan sebagai sosok nasionalis dan moderat. Tapi nampaknya masih menghadapi dilema karena kondisinya dilematis," ujar Karyoto.