Djawanews.com – Beberapa waktu lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin telah ultimatum kepada negara-negara yang dianggapnya bukan sebagai sahabat untuk membeli gas dengan rubel sebagai bentuk "balas dendam" terhadap sanksi penyerangan ke Rusia.
Kini tenggat waktu yang diberikan semakin dekat. Jika Eropa tetap menolak pembelian lewat rubel, maka risiko gangguan pasokan di Eropa akan meningkat.
Dikutip dari CNBC Indonesia, Ketua majelis tinggi parlemen Rusia, Valentina Matviyenko, mengatakan Moskow siap jika Eropa menolak untuk membeli energi Rusia dan dapat mengalihkan pasokan ke pasar Asia.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa, sejalan dengan tenggat waktu 31 Maret yang ditetapkan oleh Putin untuk pembayaran gas dengan rubel, "semua sistem sedang dikembangkan, sehingga sistem ini sederhana, dapat dimengerti, dan layak untuk pembeli Eropa dan internasional yang dihormati."
Negara-negara Eropa, yang sebagian besar membayar dalam euro, mengatakan Rusia tidak berhak menggambar ulang kontrak. Kelompok negara G7 menolak tuntutan Moskow minggu ini.
Negara-negara G7 mendesak perusahaan untuk tidak menyetujui pembayaran rubel dan mengatakan sebagian besar kontrak pasokan menetapkan euro atau dolar. "Itu adalah posisi yang kami bagikan," kata juru bicara Komisi Eropa pada konferensi pers di Brussels.
Secara garis besar, kebijakan Putin jadi pukulan lain bagi Eropa. Para pedagang akan lebih takut untuk membeli gas dari Rusia. Sebab saat ini Rusia sedang dikucilkan oleh keuangan dunia.
Ini membuat banyak pedagang takut untuk bertransaksi dengan segala hal yang berhubungan dengan Rusia. Padahal mencari pasokan gas dengan waktu singkat tidaklah mudah.
Uni Eropa bergantung pada 41% impor gas dan 27% minyak dari Rusia. Pasokan yang terbatas akan membuat harga energi kian mahal. Setelah pernyataan Putin, harga gas Eropa melonjak 18,49% menjadi Euro 117 per MWh. Alhasil inflasi Uni Eropa diperkirakan meroket 6,5%year-on-yearpada bulan Maret.