Dilansir dari blog.netray.id: Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) memasuki babak baru. Pada 30 Agustus 2021, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI telah mengajukan draf anyar atau alternatif naskah saat Rapat Pleno Penyusunan RUU PKS. Ada sejumlah perubahan yang menonjol dan menarik perhatian masyarakat sipil. Selain penggantian nama RUU PKS menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), publik juga menyoroti perubahan krusial lainnya seperti jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual yang akan diatur hingga jaminan hak bagi korban yang mengalami penyusutan.
Lalu bagaimana media mengawal progres RUU PKS yang pengesahannya telah lama dinanti masyarakat ini? Bagaimana publik memandang perubahan nama dan aturan yang diajukan dalam draf terbaru dari Baleg? Masih antusiaskah masyarakat membicarakan isu ini mengingat telah lama pembahasannya ditunda dan sempat dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas DPR pada 2020 lalu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut Media Monitoring Netray akan memantau pembahasan topik terkait ruu pks selama periode 30 Agustus 2021 sd 6 September 2021 di kanal media daring dan media sosial Twitter.
Laporan Statistik Pemantauan Topik RUU PKS di Media Berita Daring
Selama sepekan terakhir sejak draf baru RUU PKS diusulkan, Netray hanya menemukan 111 artikel terkait kata kunci ruu pks dari 29 portal media yang terjaring Netray. Jumlah ini terhitung sedikit untuk dapat dikatakan menyedot perhatian publik apalagi memicu kontroversi dan atau perdebatan di masyarakat. Maka tak heran apabila Komnas Perempuan menganggap literasi publik terhadap RUU PKS masih rendah. Belum banyak yang memahami apa yang diperjuangkan dalam RUU PKS sehingga perdebatan topik ini seringkali hanya menjadi perhatian sejumlah pengamat dan sebagian kecil masyarakat.
Bahkan, dari 111 artikel dengan kata kunci ruu pks tersebut, 35 di antaranya bersinggungan dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di internal Komisi Penyiaran Indonesia dan 7 di antaranya menyinggung kontroversi bebasnya napi kasus pedofilia Saipul Jamil. Kedua isu tersebut menjadi yang cukup banyak dijadikan landasan media dalam membahas topik terkini dan kaitannya dengan urgensi pengesahan RUU PKS. Sementara pembahasan RUU PKS sebagai fokus utama media hanya di angka 60-an artikel. Di antaranya adalah soal perubahan dalam draf baru RUU TPKS, alasan pengubahan, dan kritik publik terhadap poin-poin yang dianggap krusial namun hilang. Lalu bagaimana dengan pengamatan di media sosial?
Statistik Pemantauan di Media Sosial Twitter
Dengan kata kunci dan periode yang sama, Netray menemukan 2,7 ribu tweet dari 1,3 ribu akun di Twitter yang membahas isu ini. Terlihat lebih tinggi daripada apa yang terjadi di media pemberitaan daring. Namun, jika mengamati Peak Time di bawah, pembahasan RUU PKS sebenarnya juga nampak senyap pada 30 Agustus s.d. 2 September 2021 dengan angka tidak lebih dari 200 tweet perhari. Lalu apa yang memicu lonjakan perbincangan pada 3 September?
Dari pengamatan Netray, perbincangan seputar draf baru RUU PKS pada 30 Agustus hanya terjadi di lingkup kecil. Perbincangan ini dipantik oleh akun-akun terkait seperti Fraksi PKS DPR RI, Komnas Perempuan, dan sejumlah akun portal berita. Pembahasan bahkan terlihat menurun sejak 30 Agustus sampai 1 September 2021. Tidak lebih dari 100 akun membahas topik ini dengan impresi yang juga minim. Artinya, tidak banyak masyarakat Twitter yang benar-benar mengawal dan menyadari isu ini.
Lonjakan perbincangan mulai menggeliat pada 2 September 2021 dan memuncak pada hari berikutnya hingga menyentuh angka 1,3 ribu tweets dalam sehari. Di sinilah Netray baru melihat geliat masyarakat mengkritik perubahan pada draf baru RUU PKS yang sebelumnya senyap. Dari penampang Top Account di bawah terlihat perbedaan sejumlah akun yang mempengaruhi intensitas perbincangan pada masing-masing periode.
Urutan pertama akun yang berpengaruh dalam perkembangan isu RUU PKS di Twitter adalah @SisterinDanger. Dari pantauan Netray, akun ini terlihat aktif mengawal isu RUU PKS termasuk menyoroti perubahan dalam draf baru RUU. Utasnya pada 2 September meraih ribuan impresi sehingga memantik naiknya isu ini di tengah masyarakat Twitter yang lebih luas. Demikian pula dengan akun @barijoe, @mardiasih, hingga @tunggall yang turut mengkritisi dan menjadi penarik diskusi masyarakat kembali melek terhadap perkembangan isu ini. Lalu apa saja poin-poin yang disorot dan dikritisi?
1. Penggantian Judul RUU Menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Hal pertama yang menonjol dari draf baru usulan Baleg pada 30 Agustus adalah judul RUU yang semula RUU PKS menjadi RUU TPKS. Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (KOMPAKS) menilai terminologi ‘penghapusan’ dalam RUU PKS memuat elemen-elemen penting penanganan kekerasan seksual secara komprehensif yang bertujuan menghapus kekerasan seksual. Sedangkan, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menitikberatkan pada penindakan tindak pidana sehingga mengabaikan unsur kepentingan korban seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum.
Menanggapi hal itu Tim Ahli Baleg DPR, Sabari Barus beralasan bahwa kata penghapusan terkesan abstrak dan mutlak. Karena itu, ia menilai langkah mengganti judul tersebut akan membuat aparat penegak hukum lebih mudah dalam menegakkan aturan. Meski kerap disinggung, penggantian judul ini tidak terlalu banyak dipermasalahkan selama substansi dari RUU itu masih sejalan dengan apa yang selama ini diperjuangkan.
2. Penyusutan Pasal dan Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Selanjutnya adalah soal pemangkasan pasal yang semula berjumlah 128 pasal (per September 2020) kini menjadi 43 pasal (draf baru RUU TPKS per 30 Agustus). Berdasarkan temuan KOMPAKS, pada perubahan tersebut, perbedaan paling menonjol terlihat pada bentuk kekerasan yang semula sebanyak 9 jenis (pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual) kini menyusut jadi 4 jenis (pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual).
Dalam draf terbaru, nihilnya pengaturan kekerasan seksual berbasis online dan aturan untuk penanganan korban kekerasan seksual dengan disabilitas juga menjadi bagian yang dipertanyakan. Ketiadaan pengakuan dan pengaturan ragam bentuk kekerasan seksual tersebut dinilai sebagai bentuk invalidasi terhadap pengalaman korban kekerasan seksual serta pengabaian terhadap hak korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.
3. Hak dan Jaminan Bagi Korban
Poin jaminan hak, pemulihan, dan perlindungan juga mendapat perhatian serius dari koalisi masyarakat sipil dan warga Twitter. Pasalnya, dalam draf RUU TPKS, ketentuan hak korban hanya disebutkan pada bagian ketentuan umum yakni di Pasal 1 angka 12. Mengutip Tempo, Perwakilan KOMPAKS Naila menyoroti alpanya pengaturan lebih lanjut terkait pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang menurutnya hal ini dapat menghilangkan jaminan pemenuhan hak korban selama proses peradilan pidana.
Penghalusan diksi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual juga dinilai akan berdampak negatif pada pemaknaan peristiwa tersebut sehingga menghambat pemenuhan hak bagi korban, dan melanggengkan praktik diskriminasi atau ketidakadilan bagi korban di proses peradilan dan masyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat kasus kekerasan seksual selama ini kerap mandek di tengah jalan tanpa penyelesaian ataupun jaminan perlindungan bagi korban.
Perjalanan Panjang RUU PKS
Sebagai RUU yang dinanti-nantikan pengesahannya, tak pelak progres RUU PKS ini terus dikawal dan mendapat perhatian khusus. Hal ini mengingat perjalanan terjal RUU PKS sejak diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada 2012 dan berhasil naik ke Prolegnas Prioritas DPR pada 2016. Namun dalam perjalanannya, DPR memutuskan mengeluarkan RUU ini dari Prolegnas DPR pada 2020 dan melemparkannya ke Badan Legislatif. Kali ini, di tangan Baleg, RUU PKS diusulkan akan berganti nama menjadi RUU TPKS dengan sejumlah perubahan aturan di dalamnya. Namun, lagi-lagi draf anyar yang diajukan Baleg pada 30 Agustus lalu masih belum dapat mengakomodasi harapan publik dan justru cenderung mengecewakan karena dalam rupa yang baru draf berjudul RUU TPKS ini justru semakin ramping dan kehilangan banyak kekuatan bagi perlindungan korban. Bagaimana pendapatmu?