Sidang hasil sengketa Pemilu Presiden 2019 menghasilkan beberapa poin penting.
Sidang sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 telah selesai diselenggarakan. Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diselenggarakan sejak 14 Juni 2019 lalu menghasilkan beberapa poin penting. Beberapa poin dihasilkan dari perdebatan yang melibatkan saksi dan barang bukti.
Selama jalannya persidangan, banyak pihak ikut memantau dan memperdebatkan jalannya sidang. Seperti yang dilansir melalui Tirto.id, beberapa pakar hukum tata negara, pengamat pemilu, hingga pemantau persidangan ikut mengamati jalannya persidangan. Mereka ikut memaparkan poin penting apa yang bisa digaris bawahi selama proses persidangan.
Poin penting sidang Pemilu Presiden 2019
1.Perbaikan Gugatan
Dalam persidangannya, Hakim MK meminta agar tim kuasa hukum BPN (Pemohon) untuk memperbaiki gugatan yang diajukan ke MK. Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas ikut menanggapi permintaan hakim tersebut. Seperti yang dilansir dari Tirto.id, Feri mengatakan bahwa seharusnya MK tidak menerima gugatan tersebut. Dalam artian, seharusnya perbaikan gugatan tidak diberikan kepada Pemohon.
Feri merujuk pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 5 tahun 2018, khususnya di pasal 3 ayat 2. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa perbaikan permohonan hanya bisa dilakukan untuk DPR, DPD, dan DPRD, bukan untuk PHPU Pilpres.
2. Diksi Politis
Komentar lain juga dikeluarkan oleh Bivitri Susanti, pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera. Seperti yang dilansir dari Tirto.id, Bivitri menilai bahwa sidang MK selama seminggu ini menjadi panggung politik. Terutama bagi kubu tim kuasa hukum BPN (pemohon). “Begitu banyak yang diungkapkan di sidang itu sebenarnya adalah cara untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pada pendukung,” jelas Bivitri.
Para saksi yang dihadirkan Pemohon memberikan keterangannya dalam persidangan. Para saksi tersebut juga memakai istilah-istilah yang menarik untuk diamati. Bivitri menilai bahwa diksi-diksi yang terdengar dalam sidang adalah diksi yang kerap terdengar saat momen kampanye sebelum pemilihan. Bivitri menjelaskan beberapa diksi tersebut seperti “KTP palsu”, “KK manipulatif”, hingga “NIK rekayasa”.
Penggunaan diksi-diksi yang digunakan oleh para saksi dinilai kurang tepat. Diksi tersebut telah tercampur dengan penafsiran saksi sendiri. Padahal saksi kebanyakan berasal dari relawan kubu 02. Penafsiran tersebut tentu diperoleh dari kampanye-kampanye yang digaungkan oleh tim BPN.
3. Bukti Tidak Cukup Kuat
Veri Junaidi, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, menilai bahwa tim kuasa hukum BPN tidak berhasil meyakinkan majelis hakim. Padahal meyakinkan majelis hakim dianggap penting dalam setiap persidangan. Dalam kasus ini berarti tim kuasa hukum BPN seharusnya meyakinkan majelis hakim bahwa pelanggaran yang bersifat TSM benar-benar terjadi.
“Kalau membaca dalil permohonan, kalau membaca dari proses persidangan, saya tidak cukup yakin ada bukti yang kuat terjadinya pelanggaran TSM. Kalau pelanggaran TSM, dia harus dibuktikan secara berlapis,” kata Veri mengomentari dalil tim kuasa hukum 02 dalam sidang sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 yang dikutip dari Tirto.id.