Djawanews.com – Korea Utara tengah menghadapi krisis pangan dan kesehatan yang serius. Menurut laporan terbaru dari PBB, hampir 46% penduduk Korea Utara mengalami kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh kerawanan pangan parah yang diperburuk oleh ketegangan geopolitik dan perubahan iklim.
Elizabeth Salmon, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Korea Utara, mengatakan bahwa dari tahun 2020 hingga 2022, sekitar 11,8 juta orang di negara itu menderita kekurangan gizi.
PBB mendefinisikan kekurangan gizi sebagai kebiasaan konsumsi makanan yang "tidak cukup untuk menyediakan tingkat energi makanan yang dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan yang normal, aktif, dan sehat."
"Negara (DPRK) menghadapi kerawanan pangan kronis akibat infrastruktur lama, kesenjangan kapasitas dalam teknologi dan keterampilan, bencana alam, dan kurangnya investasi dalam mengatasi masalah tersebut," kata Salmon, mengutip data dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dilansir dari The Korea Times 19 Maret.
Diketahui, DPRK merupakan singkatan dari nama resmi Korea Utara — Republik Rakyat Demokratik Korea.
Laporan tersebut juga mencatat, Pemerintah Korea Utara tampaknya telah mengubah pendekatannya, menjauh dari mengakomodasi "jangmadang" — pasar lokal yang selama ini diandalkan masyarakat untuk mengatasi kekurangan pangan dan kebutuhan sehari-hari.
Sebaliknya, pemerintah menegaskan kembali kendali atas distribusi pangan dengan membatasi kegiatan komersial swasta dan menetapkan monopoli atas penjualan bahan pokok seperti beras dan jagung, yang kini tersedia secara eksklusif di toko-toko milik negara.
Laporan PBB tersebut juga menyoroti Korea Utara menghadapi tantangan signifikan terkait dengan kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencantumkan DPRK sebagai salah satu dari 30 negara dengan beban tinggi tuberkulosis pada tahun 2023.
Ada beberapa laporan yang memperingatkan peningkatan tuberkulosis terkait dengan kekurangan gizi parah dan paparan cuaca dingin.
Meskipun tingkat imunisasi nasional melebihi 96 persen sebelum pandemi COVID-19, angka tersebut telah turun menjadi di bawah 42 persen pada pertengahan tahun 2021.
"Pada tahun 2022, tidak ada anak yang divaksinasi terhadap penyakit utama, termasuk tuberkulosis, dan tidak ada ibu hamil yang menerima imunisasi terhadap tetanus dan difteri. Sejumlah besar anak yang lahir pada tahun 2023 masih menunggu vaksinasi yang diperlukan," kata Salmon.
Pada Bulan September 2024, Korea Utara, dengan dukungan dari Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), meluncurkan kampanye nasional untuk memvaksinasi lebih dari 800.000 anak dan 120.000 ibu hamil. Inisiatif vaksinasi susulan ini menyusul gangguan yang disebabkan oleh pandemi.
Di Korea Utara, 52 persen rumah tangga bergantung pada fasilitas sanitasi yang tidak layak, dan pembuangan limbah yang tidak aman dari sistem sanitasi yang layak berkontribusi pada penyebaran diare, yang selanjutnya memperburuk kekurangan gizi.
"Sumber daya yang tersedia untuk pembangunan dan realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat dipengaruhi secara signifikan oleh kebijakan negara tentang militerisasi ekstrem, nuklirisasi, dan sanksi terkait, kemitraan terbatas, dan kurangnya kerja sama internasional," jelas Salmon.
Pada paruh kedua tahun 2024, staf diplomatik internasional dari beberapa kedutaan besar, termasuk Kuba, India, Polandia, dan Swedia, dapat kembali ke Pyongyang dan melanjutkan operasionalnya.
Namun, pekerja dari PBB dan organisasi kemanusiaan dan pembangunan tidak dapat kembali ke negara tertutup tersebut, sehingga menghalangi bantuan PBB dan penilaian independen atas situasi kemanusiaan.