YOGYAKARTA - Bupati Kabupaten Luwu Timur dua periode, Andi Hatta Marakarma (Opu Hatta) mengemukakan kekhawatirannya terkait status lahan yang disiapkan sebagai kompensasi PLTA Karebbe. Lahan tersebut awalnya dimaksudkan sebagai area reboisasi pengganti kawasan hutan yang terdampak pembangunan PLTA.
Dalam forum diskusi yang digelar oleh The Sawerigading Institute di Makassar pada akhir Oktober 2025, Opu Hatta menyoroti bahwa lahan yang terletak sekitar Desa Lampia ternyata kini masuk dalam rencana pengembangan kawasan industri bersama dengan pihak swasta.
Menurut Opu Hatta, pemanfaatan lahan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan hijau, sebagai bagian dari kewajiban lingkungan proyek—justru berpotensi dialihfungsikan menjadi kawasan industri, yang menurutnya jelas bertentangan dengan maksud awal kompensasi lahan.
Analisis: Status Kompensasi PLTA Karebbe dan Dampaknya pada Lingkungan & Sosial
Jejak awal kompensasi PLTA Karebbe bersandar pada MoU tahun 2006 antara PT INCO (sekarang PT Vale Indonesia) dengan pemerintah setempat, dimana sekitar 390 hektare lahan disiapkan sebagai pengganti kawasan hutan yang dialihfungsikan akibat pembangunan.
Namun kemudian terdapat perubahan luas menjadi 394,5 hektare dan titik koordinat yang berpindah—menimbulkan pertanyaan tentang dasar hukum perubahan tersebut.
Akademisi dari Universitas Hasanuddin, Darhamsyah menegaskan bahwa lahan untuk kompensasi tidak boleh dialihfungsikan ke kepentingan lain selain dari tujuan asli—yakni pemulihan ekosistem yang terdampak.
Kasus ini menyeret isu legalitas dan transparansi. Rapat dengar pendapat di DPRD Luwu Timur mengungkap bahwa dewan tidak dilibatkan dalam proses sewa lahan yang kini dikaitkan dengan kawasan industri. Hal ini memunculkan kecurigaan publik terhadap otoritas pemda dan pihak swasta terkait asal-usul serta pemanfaatan lahan kompensasi PLTA Karebbe.
Bagi Opu Hatta, pembangunan yang berkelanjutan tak sekadar mengejar nilai ekonomi tetapi juga harus mengedepankan aspek sosial dan lingkungan. Jika hanya orientasi ekonomi yang diutamakan, maka masyarakat lokal dan lingkungan akan jadi pihak yang dirugikan.
Isu kompensasi PLTA Karebbe menghadapkan kita pada dilema antara pemanfaatan lahan untuk investasi industri dan pemenuhan kewajiban lingkungan yang melekat pada proyek pembangkit listrik. Ketiadaan kejelasan mengenai perubahan luas, titik koordinat, serta pelibatan publik dan lembaga legislatif menimbulkan keraguan terhadap transparansi dan aspek keberlanjutan.
Untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan, diperlukan audit independen dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Demikian informasi seputar kompensasi PLTA Karebbe. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Djawanews.com.