Djawanews.com – Koordonator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Moddie Alvianto Wicaksono menilai penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang melarang penjualan rokok ketengan bisa mematikan industri hasil tembakau (IHT).
Menurut Moddie, dari isi pasal-pasal PP 28/2024, tampak seolah pemerintah ingin menutup IHT selamanya. Hal ini terlihat dari larangan iklan rokok di media sosial, larangan penjualan rokok eceran, hingga pengaturan kawasan tanpa rokok (KTR).
“Pemerintah sama sekali tidak mendengar aspirasi teman-teman IHT dari akar rumput bahwa apabila RPP Kesehatan disahkan akan membawa banyak masalah. Hal ini terbukti dari isi setiap pasal yang menutup akses pelaku usaha dan penggiat IHT,” ungkap Moddie dalam keterangannya, Kamis, 1 Agustus.
Menurut Moddie, narasi pengendalian rokok oleh pemerintah hanyalah sebuah dalih untuk membatasi bahkan mematikan ruang gerak pelaku usaha dan penggiat IHT. Padahal, ia memandang, banyak masyarakat yang menerima penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari industri rokok.
"Peraturan tersebut menjadi pukulan telak bagi pelaku usaha, khususnya petani tembakau, yang hendak merayakan kegembiraan atas hasil panennya. Ini akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah karena memutus kegembiraan dan harapan petani akan panen tembakau," kata Moddie.
Terhadap pelarangan total iklan rokok di media sosial, Moddie menilai pemerintah akan sangat sulit mengawasi mana yang disebut iklan dan mana yang bukan.
“Pasal 446 berpotensi sebagai pasal karet. Bagaimana jika seorang perokok hanya ingin mengekspresikan kesukaannya terhadap produk tembakau? Apakah bentuk ekspresi seperti itu bisa dianggap iklan? Jika iya, sama saja pemerintah ingin mengekang ekspresi seseorang. Ekspresi kok dikekang?" ujar Moddie.
Selain pelarangan total iklan rokok di media sosial, PP tersebut juga mengatur radius tempat penjualan rokok. Dalam pasal 434, ada radius minimal 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Bahkan, untuk iklan rokok di media luar ruang harus berada dalam radius 500 meter.
“Ini pasal karet. Bagaimana cara pemerintah mengatur dan bahkan mengawasi tempat penjualan harus berjarak 200 meter dari tempat pendidikan? Bagaimana dengan nasib pasar tradisional yang memang di dalamnya sudah ada jualan rokok?” pungkasnya.