Memiliki kekayaan alam melimpah, impor pangan Indonesia masih tinggi, bagaimana bisa?
Indonesia tercatat memiliki indeks ketahanan pangan yang membaik. Namun nilai impor pangan Indonesia mengalami peningkatan dalam kurun tahun 2014—2018. Apa yang menjadi penyebabnya?
Impor Pangan Indonesia Terus Meningkat
DW mencatat jika pada tahun 2014 impor pangan Indonesia dari 19,4 juta ton bertambah menjadi 28,6 juta ton pada tahun 2018. Terkait dengan hal tersebut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Prof. Dwi Andreas Santosa menyarankan agar pemerintah dapat merancang kebijakan anggaran secara efektif.
Pemerintah memang sudah seharusnya mengatur agar anggaran impor yang meningkat tidak sia-sia. Berdasarkan laporan Economist Intelligence Unit tahun 2018, DW mencatat jika Indonesia berada pada peringkat 65 dari 113 negara dengan Indeks Ketahanan pangan Global.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat dibawah dengan Singapura yang berada pada peringkat 1, Malaysia di peringkat 40, Thailand di peringkat 54, dan Vietnam di peringkat 62.
Program yang dilakukan pemerintah terkait permasalahan ketahanan pangan adalah dengan meningkatkan anggaran di sektor pertanian dan pangan. Diketahui selama tahun 2015—2018 pemerintah telah mengeluarkan dana Rp 409 triliun kepada Kementerian Pertanian.
Mengapa Indonesia Harus Impor Pangan?
Terkait dengan impor pangan yang masih dilakukan Indonesia, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa A. Amanta, sebagaimana ditulis Suara Merdeka, menyatakan jika hal tersebut masih dilakukan terutama untuk menjangkau ketersediaan pangan tanpa persyaratan.
Impor pangan memungkinkan untuk memperoleh keberagaman pangan yang berkualitas dan harga lebih terjaungkau (sesuai dengan keunggulan produk pangan di suatu negara pengimpor).
Amanta mencontohkan dengan daging impor asal Australia yang memiliki keunggulan produksi dan kualitas yang unggul, adalah alasan negara untuk mengimpor. Hal tersebut menunjukkan kemampuan negara dalam memanfaatkan pasar global untuk pemenuhan pangan.
Namun, yang menjadi keprihatinan adalah lantaran saat ini impor masih sarat dengan kesulitan regulasi yang kental dengan unsur politik. Berdasarkan penelitian CIPS, Amanta mencontohkan mudahnya impor beras melalui Bulog.
Impor beras yang menyangkut nasib para petani memang harus mendapatkan perhatian khusus. Saat ini petani yang merupakan produsen pangan, mirisnya malah lebih banyak membeli daripada memproduksi.
Di tengah besarnya impor pangan Indonesia, pemerintah setidaknya harus memberikan perlindungan bagi para petani selaku produsen pangan. Inovasi dan peningkatan produktivitas, harus lebih didorong melalui program-program semacam swasembada pangan di masa lalu.