Djawanews.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyarankan agar sekolah-sekolah rutin menggelar simulasi evakuasi gempa dan tsunami minimal sekali setiap tahun. Hal ini bertujuan untuk melatih para siswa agar mampu merespons situasi darurat dengan cepat dan tepat.
“Langkah ini bertujuan agar anak-anak mampu merespons secara cepat dan tepat saat terjadi bencana sebenarnya,” kata Ketua Bidang Mitigasi Tsunami Samudera Hindia dan Pasifik BMKG, Suci Dewi Anugerah dalam seminar simposium 'perencanaan kontigensi menghadapi bencana gempa bumi megathrust berpresfektif anak' yang diikuti secara daring Rabu, 30 Oktober, disitat Antara.
Ia menjabarkan, anak-anak juga perlu dilatih waspada terhadap tanda-tanda alam tsunami, seperti guncangan gempa yang kuat atau berlangsung lama, serta penurunan cepat permukaan laut yang menunjukkan surutnya air laut dan tampaknya ikan serta terumbu karang.
Dalam seminar yang dihadiri lebih dari 500 siswa se-Indonesia itu, Suci berbagi kisah inspiratif tentang Tilly Smith, seorang anak perempuan asal Inggris berusia 10 tahun yang berhasil menyelamatkan lebih dari 100 wisatawan di sebuah hotel di pantai Phuket, Thailand. Berkat kemampuannya membaca tanda-tanda alam, Tilly memperingatkan orang-orang di sekitarnya hingga mereka dapat menghindari bahaya tsunami.
BMKG menggarisbawahi enam komponen penting dalam simulasi ini, meliputi; ketersediaan alarm (tanda peringatan untuk segera evakuasi), respons (teknik perlindungan pada bagian kepala-leher), zona evakuasi, tempat berkumpul, roll call (perhitungan jumlah siswa), dan evaluasi (identifikasi masalah dan kendala dalam simulasi).
Sebagai kelompok usia rentan, anak-anak perlu memiliki kesiapsiagaan yang memadai. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 mencatat ada 88 juta anak dari total populasi Indonesia, menjadikan sekolah sebagai wahana penting untuk mendidik mereka dalam menghadapi bencana.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti kerentanan anak dalam menghadapi bencana, seperti kurangnya pengetahuan, keterbatasan dukungan psikososial, serta minimnya layanan pendampingan. Kerentanan ini berdampak serius, terbukti dari data KPAI yang menunjukkan 33 kasus perkawinan anak usia 13-17 tahun akibat bencana gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, dan 37 kasus perdagangan anak pascabencana tsunami di Aceh.
Oleh karena itu, BMKG menyakini simulasi rutin akan membentuk kesiapsiagaan yang baik di kalangan anak-anak saat gempa atau tsunami serta dampak lain yang menyertai setelah bencana terjadi.