Djawanews.com – Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menjadi narasumber dalam Kongres Kebudayaan Desa seri 9 tentang agama. Acara tersebut diselenggarakan secara daring oleh Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, pada Senin pagi (06/07/2020). Dalam kongres tersebut, Gus Hilmy Muhammad mengungkapkan peran desa dan agama di masyarakat.
Dalam pandangannya, Gus Hilmy mengatakan bahwa desa bisa menjadi solusi atas berbagai persoalan di masyarakat terutama dalam tiga hal, yakni gotong royong, ketahanan pangan, dan religiositas.
“Al-Qur’an sendiri memberikan kriteria desa yang baik dengan ungakapan ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’,” lanjut Gus Hilmy.
Anggota DPD-RI periode 2019-2024 Dapil D.I. Yogyakarta itu juga mengatakan bahwa agama di tengah pandemi telah membuktikan diri bertahan sebagai sistem nilai yang kokoh dan teruji.
Selain itu agama bisa menjadi pranata agar manusia bisa hidup berdampingan secara damai dan bahagia. Sedangkan nabi dan para kiai adalah tokoh penyambung lidah ‘ajaran langit’ ke bumi, yang merangkap sebagai budayawan.
“Apabila agama adalah pranata yang disiapkan oleh Allah agar manusia bisa hidup berdampingan dengan damai dan bahagia, maka para nabi dan kemudian para kiai, sebagai penyambung lidah ajaran “langit” ke bumi, adalah budayawan,” lanjut Gus Hilmy.
Dari alasan tersebut ia mempertanyakan, mengapa anggaran kebudayaan tidak boleh dialokasikan kepada mereka saat membutuhkan? Padahal kiai dapat diposisikan sebagai budayawan yang mampu menerjemahkan ajaran agama dengan berbagai cara dan keadaan, seperti saat kekeringan, paceklik, gempa, saat pemilu, termasuk saat pandemi seperti sekarang.
Kiai, lanjut Gus Hilmy, harus hadir di tengah masyarakat. Mereka mengambil peran untuk menenangkan atau ngeyem-yemi dalam Bahasa Jawa.
“Dengan demikian rumusan para ulama untuk tidak salaman, sementara tidak Salat Jumat, atau salat dengan shaf jarang-jarang, adalah syariat baru atau New Normal. Atau istilah saya Pakulinan Enggal. Hal itu boleh berlaku dengan cara yang benar sesuai dengan prinsip perundangan yang berlaku. Prinsip apa saja seperti adl-dlararu yuzalu, yang berbahaya yang mesti dihindari dan dihilangkan. Demikian juga ma la yudraku kulluhu la yutraku julluh, bila tidak bisa diambil semua jangan tinggalkan semua,” jelas pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta itu.
Kongres Kebudayaan Desa seri 9 ini tidak hanya menghadirkan Gus Hilmy Muhammad, namun juga Kiai Jadul Maula dan Engkus Ruswana (Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia/MLKI), dan Sabrang Damar Panuluh (Maiyah). Ketiga tokoh memberi pandangan mereka tentang transformasi peran agama dalam tatanan nilai baru di tengah pandemi.