Djawanews- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji material beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum (Pemilu), salah satunya berkaitan dengan sistem pemilu.
Putusan itu tidak bulat sebab hakim konstitusi Arief Hidayat berbeda pendapat atau dissenting opinion. Hanya delapan hakim konstitusi yang mengambil keputusan dalam gugatan ini.
Dalam sidang yang turut disiarkan secara daring, MK membeberkan secara gamblang beragam argumentasi membantah permohonan pemohon perkara nomor: 114/PUU-XX/2022 yang diajukan salah satunya oleh Kader PDI-Perjuangan bernama Demas Brian Wicaksono.
Berikut sejumlah argumentasi MK tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka dalam pemilu:
Berkaitan dengan kedaulatan yang sepenuhnya berada di tangan rakyat dan dijalankan sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan sistem pemilu menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi terbentuknya pemerintahan yang demokratis.
Atas pemikiran tersebut, kata Enny, sistem pemilu harus dirancang sedemikian rupa untuk membangun kehidupan demokrasi yang baik.
"Dalam kaitan ini, sistem pemilihan umum sepanjang dipagari dengan prinsip-prinsip yang dapat membatasi pelaku atau aktor politik tidak merusak ideologi negara, in casu ideologi Pancasila, maka sistem pemilihan umum demikian tidak perlu dikhawatirkan akan membahayakan keberadaan sekaligus keberlangsungan ideologi negara," kata Enny.
Berkenaan dengan hal tersebut, lanjut Enny, secara normatif sejumlah undang-undang telah mengantisipasi agar pelaku atau aktor politik tidak mengancam keberadaan sekaligus keberlangsungan ideologi negara.
"Misalnya larangan partai politik untuk menganut asas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," ujar Enny.
Contoh lain apabila terdapat partai politik yang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/marxisme-leninisme bahkan melakukan kegiatan dan akibat yang ditimbulkan bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, maka dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik tersebut.
Hakim konstitusi Saldi Isra berpendapat alasan pemohon yang menyebut sistem pemilu proporsional terbuka mendistorsi peran partai politik merupakan dalil yang berlebihan. Menurut Saldi, partai politik hingga saat ini mempunyai peran sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan demokrasi sehingga eksistensinya harus dipertahankan.
Saldi menambahkan partai politik memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon termasuk penentuan nomor urut calon anggota legislatif. Lebih lanjut, partai politik juga bisa mengoreksi anggotanya di DPR atau DPRD lewat mekanisme recall atau Pergantian Antar Waktu (PAW).
"Dengan demikian, peran partai politik sama sekali tidak berkurang apalagi menyebabkan hilangnya daulat partai politik dalam kehidupan demokrasi," ucap Saldi.
Saldi menegaskan partai politik hingga kini tetap memiliki peran sentral dalam menentukan dan memilih calon anggota DPR/DPRD yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana dan program kerja partai politik yang bersangkutan.
Dalam hal terdapat calon anggota DPR/DPRD yang dinilai pragmatis sehingga tidak mampu menerjemahkan ideologi, visi misi dan cita-cita partai politik yang dalam batas penalaran wajar dapat mengancam upaya mencapai kesamaan cita-cita dalam memperjuangkan dan membela partai politik, anggota, masyarakat, bangsa dan negara, seyogianya partai politik tidak mengajukan yang bersangkutan sebagai calon anggota DPR/DPRD.
"Bahkan jika terlanjur diajukan sebagai bakal calon, partai politik dapat meninjau atau mempertimbangkan kembali pencalonannya sebelum ditetapkan dalam daftar calon tetap," kata Saldi.