Djawanews.com – Koalisi antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Gerindra tidak didasarkan pada kecenderungan aspirasi pemilih PKB maupun massa NU. Hal itu disampaikan pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani dalam acara Bedah Politik episode "Top Down Koalisi Gerindra-PKB?" yang disiarkan oleh kanal Youtube SMRC TV, Jumat silam.
Saiful menyebutkan, survei SMRC pada Mei 2022 menunjukkan bahwa dari total pemilih PKB, 40,7 persen menginginkan Ganjar Pranowo sebagai presiden. Yang mendukung Prabowo Subianto 22 persen dan Anies Baswedan 16,5 persen.
Ada dua model penentu koalisi, menurut Saiful. Pertama adalah model bottom up. Model ini mendengarkan aspirasi dari bawah, konstituen, pemilih, atau kelompok-kelompok kepentingan yang dekat dengan partai.
Model kedua adalah supply side atau top down. Dalam model koalisi ini, kebutuhan masyarakat diciptakan oleh elite.
Melihat kecenderungan pemilih PKB, ini menunjukkan manuver yang sedang dimainkan Muhaimin Iskandar dan Prabowo Subianto untuk berkoalisi tidak mencerminkan "demand side" atau aspirasi pemilih PKB, melainkan aspirasi elite.
Namun demikian, Saiful menyatakan bahwa politik acapkali bukan hanya sekadar kemenangan elektoral. Targetnya mungkin bukan Prabowo benar-benar menang sebagai presiden dan Muhaimin menjadi wakilnya, tapi untuk pertimbangan yang lain.
Misalnya, dia ingin tercatat menjadi calon wakil presiden yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Ini satu langkah politik yang memiliki nilai tersendiri, kata Saiful. Dan ini juga mungkin bisa membentuk partai untuk melakukan mobilisasi.
Saiful melihat bahwa pengajuan Prabowo sebagai calon presiden selama ini juga punya tujuan untuk mobilisasi partai. Prabowo, kata dia, punya magnet untuk menggerakkan pemilih.
"Targetnya bukan Prabowo menjadi presiden, tapi setidaknya suara Gerindra cukup baik untuk mengamankan para politisi partai. Mungkin itu target minimal. Syukur-syukur kalau Prabowo jadi presiden," katanya dalam siaran persnya.
Mengapa pemilih PKB cenderung memilih Ganjar Pranowo dibanding tokoh lain? Saiful melihat bahwa ini wajar, karena secara sosiologis pemilih PKB dan Ganjar dekat.
Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah basis utama massa pemilih PKB dan wilayah itu pula yang menjadi basis pendukung Ganjar.
Namun demikian, Saiful mengingatkan bahwa Muhaimin pernah melakukan tindakan politik yang menarik dalam kasus Pemilihan Gubernur Jawa Tengah.
Dalam pilkada tersebut, PKB tidak mendukung Ganjar Pranowo, melainkan mendukung pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah. Dalam kasus ini, Saiful melihat PKB memiliki pertimbangan lain di luar menang pilkada.
Oleh karena itu, dalam kasus pilpres boleh jadi Muhaimin kembali memiliki pertimbangan lain di luar soal memenangkan pilpres.
"Ada target lain yang bisa dicapai melalui koalisi itu, tidak hanya secara harfiah koalisi capres dan cawapresnya bukan hanya untuk menang menjadi pasangan presiden dan wakil presiden. Itu terlalu sederhana kita melihat makna di balik rencana koalisi itu sendiri," kata ilmuwan politik lulusan Ohio State University, Amerika Serikat ini.
Kalau dilihat dari aspek 'demand side", mestinya koalisi PKB tidak dengan Prabowo Subianto. Tetapi, jika PKB mendukung Ganjar, tidak ada jaminan bahwa ketuanya, Muhaimin Iskandar akan diusung menjadi calon wakil presiden.
"Semangat politik seperti itu (untuk masuk dalam bursa capres-cawapres) adalah hal yang normal di kalangan politisi," kata Saiful.
Selain itu, PKB juga perlu mempertimbangkan suara dan aspirasi politik Nahdlatul Ulama.
Menurut Saiful, ada hubungan yang sangat khusus antara NU dan PKB. Dia tidak bisa membayangkan PKB tanpa NU.
Saiful menyatakan bahwa manifestasi politik NU bisa dalam bentuk banyak partai atau orang NU bisa ada di pelbagai partai, salah satunya PKB. Tapi tidak sebaliknya, bahwa orang PKB bisa ada di pelbagai ormas lain.
Oleh karena itu, harus diperhitungkan apakah ormas NU yang menjadi basis bagi PKB menghendaki koalisi tersebut.
Menurutnya lagi, hingga saat ini belum terdengar ada opini atau pendapat dari tokoh-tokoh NU tentang rencana koalisi PKB-Gerindra.
Saiful menegaskan bahwa NU secara resmi memang tidak berpolitik, tapi politik organisasi ini dilakukan tanpa lembaga, seperti yang dipraktikkan Ma'ruf Amin, Hasyim Muzadi, atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Walaupun secara lembaga NU tidak berpolitik, tapi politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan orang-orang NU," kata Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini lagi.