Djawanews.com – Jaksa Pinangki Sirna Malasari atau yang dikenal dengan mantan jaksa Pinangki dinyatakan bebas bersyarat pada Selasa, 6 September. Hal itu dibenarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjepas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
"Iya betul bebas bersyarat," kata Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 6 September.
Rika menyebutkan selain Pinangki terdapat empat narapidana perempuan kasus korupsi lain yang hari ini juga bebas bersyarat salah satunya mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Ia mengatakan lima narapidana kasus korupsi tersebut telah memenuhi syarat administratif dan substantif sehingga memperoleh bebas bersyarat yang diajukan ke Ditjenpas Kemenkumham.
"Persyaratannya sama, memenuhi syarat administratif dan substantif dan keluarnya juga sama dengan Ratu Atut tadi," katanya.
Saat dikonfirmasi siapa saja lima narapidana kasus korupsi yang memperoleh bebas bersyarat tersebut, Rika mengatakan pihaknya terlebih dahulu harus membuka data. Namun, yang pasti dua di antaranya yakni Ratu Atut Chosiyah dan Pinangi Sirna Malasari.
Kemudian, ketika ditanyakan sudah berapa lama Pinangki menjalani masa pidana, Rika mengaku juga tidak hafal dan harus membuka data terlebih dahulu. "Saya kebetulan lagi nyetir jadi harus lihat data dulu," ujarnya.
Akan tetapi, lanjutnya, Pinangki sudah menjalani masa pidana atau melewati dua per tiga dari masa pidananya sehingga bisa mengajukan bebas bersyarat.
Rika mengatakan kelima narapidana kasus korupsi tersebut saat ini berstatus sebagai klien balai pemasyarakatan (Bapas)."Jadi masih klien, belum bebas ya," paparnya.
Sebagai tambahan informasi, para narapidana yang menjalani program bimbingan di Bapas tersebut akan menyesuaikan dengan domisili para penjamin. Sebagai contoh, Ratu Atut akan menjalani program bimbingan di Bapas Serang dikarenakan domisili penjaminnya berada di daerah Serang.
Pinangki Divonis 10 Tahun Penjara
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Pinangki Sirna Malasari hukuman 10 tahun penjara atas kasus suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) pada Februari 2021 lalu.
Piangki terbukti menerima suap US$500 ribu dari US$1 juta yang dijanjikan oleh terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
"Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp600 juta rupiah dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan kurungan selama 6 bulan," kata Hakim Ignasius Eko Purwanto saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, saat itu.
Selain itu, Pinangki juga dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat dan pencucian uang atas suap yang ditermanya dari Djoko Tjandra.
Pinangki terbukti melanggar Pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dia juga terbukti bersalah melakukan permufakatan jahat melanggar Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor.
Pinangki juga terbukti melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Vonis tersebut jauh lebih tinggi dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Vonis Pinangki Dipotong Jadi 4 Tahun Penjara
Pada Juni 2021, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memotong vonis 10 tahun ke Pinangki menjadi 4 tahun penjara setelah permohonan banding dikabulkan.
Majelis hakim PT DKI Jakarta dalam Putusan nomor 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI yang diputuskan pada Juni 2022 memutuskan memotong hukuman jaksa Pinangki dari sebelumnya 10 tahun menjadi empat tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," demikian disebutkan dalam laman putusan Mahkamah Agung.
PT Jakarta menilai hukuman 10 tahun penjara ke Pinangki terlalu berat.
Apalagi Pinangki mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
Karena itu, ia masih dapat diharapkan akan berprilaku sebagai warga masyarakat yang baik.
Pertimbangan lain adalah Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Hanya dalam satu tahun jalani hukuman penjara, Pinangki kini bebas bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).