Djawanews.com - Data menjadi hal penting bagi suatu institusi, terlebih bagi sebuah negara. Namun rupanya hal ini menjadi keteledoran pemerintah karena fokus pembangunan yang dilakukan berpusat pada infrastruktur. Keluputan dalam mengurusi data inilah yang menjadi salah satu penyebab data pribadi pejabat negara sekelas menteri yang dapat dibobol oleh seorang hacker.
Demikian pula dengan data untuk bantuan masyarakat. Sejak awal penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), terjadi berbagai protes karena terdapat pendataan yang tidak sinkron antara pusat dengan desa selaku penyalur. Ada warga yang sudah meninggal masih mendapatkan BLT, warga mampu mendapatkan BLT, tetapi sebaliknya, warga tidak mampu justru tidak terdaftar. Harapannya satu NIK warga bisa untuk semua bantuan dan aplikasi plat merah. Termasuk saat ini dalam pembagian BLT BBM.
“Hari ini kita menolak kenaikan harga BBM. Sebenarnya tidak harus dinaikkan, tetapi kalau memang masalahnya adalah 70% subsidi tidak tepat sasaran, justru itu yang seharusnya dibenahi, bukan malah menaikkan. Inilah yang kita kritik dari pemerintah. Yang lemah dari pemerintah kita bukan infrastruktur, tetapi kelemahannya pada pendataan. Bantuan sosial banyak salah sasaran, termasuk dalam hal subsidi. Oleh karena itu, kita mendorong agar pemerintah memiliki data yang lebih baik. Hari ini tidak susah karena sistem informasi yang sangat terbuka,” kritik Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. saat kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPRI di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yogyakarta, Jl. Ki Ageng Giring, Bansari, Kepek, Kec. Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, pada Jum’at (16/09/2022) siang.
Pada kesempatan tersebut, berkaitan dengan tema acara “Demokrasi Pancasila sebagai Titik Temu Kebhinnekaan Indonesia”, pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut juga menyampaikan gagasan terkait demokrasi. Menurutnya, Demokrasi di Indonesia memiliki perbedaan dengan demokrasi yang berlaku umum. Tidak hanya mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara, melainkan juga berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Sebab itulah, demokrasi di Indonesia disebut sebagai demokrasi Pancasila.
“Berdemokrasi di Indonesia harus memiliki pengakuan dan bertanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menjamin dan menciptakan persatuan serta kesatuan Indonesia, menjadikan musyawarah sebagai jalan utama penyelesaian berbagai perbedaan dan konflik, serta mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” papar pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari D.I. Yogyakarta tersebut.
“Hari Demokrasi menjadi kesempatan bagi kita untuk meninjau kondisi demokrasi saat ini. Hal ini sebagai upaya kita agar demokrasi tumbuh semakin kuat, toleransi politik, penguatan suara warga, menjadi agenda pembangunan berkelanjutan, akuntabilitas, dialog, inklusivitas, dan lain sebagainya. Sebab, demokrasi membutuhkan partisipasi semua warga negara,” kata Gus Hilmy pada acara diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Demokrasi Internasional tersebut.
Selain itu, pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila memberikan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk selalu membuka diri dan membangun persatuan serta kolaborasi. Di antaranya karena Demokrasi Pancasila telah menjadi titik temu atas kebhinnekaan Indonesia.
“Seluruh bangsa Indonesia telah menyadari bahwa Pancasila adalah jalan tengah dan jawaban atas keberagaman multidimensional yang ada di Indonesia. Diharapkan segala unsur dalam negara ini mau membuka diri dan selalu membangun persatuan serta kolaborasi dalam berkehidupan bermasyarakat,” ujar Gus Hilmy.
Sementara perguruan tinggi sebagai sasaran sosialisasi Empat Pilar, menurut Gus Hilmy, memiliki peran strategis untuk mewujudkan demokrasi dalam masyarakat. Sebab perguruan tinggi menjadi medan untuk mencetak kader-kader unggul sehingga kehidupan berdemokrasi di perguruan tinggi juga harus ditumbuhkan.
“Inilah tempat di mana anak-anak belajar bertanya, mengkritisi, dan lain sebagainya. Pihak rektorat juga harapannya tidak hanya alergi ketika didemo dan dikritik. Justru di tempat inilah mahasiswa dilatih kekritisannya. Demikian juga dengan mahasiswa, kalau menyampaikan kritik dan pendapat sebisa yang kita mampu, dengan data yang akurat, dan cara yang baik. Dengan cara itu, nilai demokrasi dapat ditumbuhkan melalui perguruan tinggi,” jelas Gus Hilmy.
Hadir dalam kesempatan tersebut adalah Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY, Dr. H. Ahmad Zuhdi Mudlor, M.Hum, Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PW LPTNU) DIY Dr. Drs. Senawi SNHB, M.P., dan Plt. Rektor STAI Yogyakarta Hudan Mudaris, M.Si. Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Ihyak, S.H.I., M.H.I.
Hudan Mudaris menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila harus terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, utamanya mahasiswa. Hal tersebut merupakan ijtihad yang luar biasa dari pendiri bangsa.
“Pancasila harapannya tidak menjadi mantra yang diucapkan setiap hari senin atau tanggal 17 Agustus, tetapi juga menjadi ideologi kehidupan sehingga dapat menjadi lem perekat antaranak bangsa, yang pada intinya adalah gotong royong. Ini merupakan ijtihad yang luar bisa. Untuk itu, kita harus bersyukur tinggal di Indonesia, sehingga tidak berlebihan jika kita memiliki jargon Hubbul Wathan Minal Iman,” katanya.
Sementara bagi Kiai Zuhdi, Pancasila adalah common platform, yang Tidak serta merta mengubah keyakinan masing-masing warga negara. Dia sekaligus menegaskan bahwa Pancasila bukan agama dan tidak boleh diagamakan. Sebagai dasar negara, Pancasila tidak bertentangan dengan agama dan untuk memperkuat pelaksanaan agama. Hal ini menurut Kiai Zuhdi, karena Pancasila memiliki kerangka teoretis yang matang.
“Dari tinjauan diskursus teoretis, Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki dan akan dipertahankan oleh Bangsa Indonesia. Oleh karena itu sila-sila dalam Pancasila adalah fakta sekaligus merupakan norma. Di sisi lain, Pancasila merupakan hasil interaksi dari berbagai kelompok bangsa Indonesia yang berbeda latar belakang keyakinan, budaya, sosial, dsb untuk membentuk kerangka bersama (common platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara(teori dekonfessionalisasi),” kata Kiai Zuhdi.
Di sisi lain, Senawi menegaskan, sebagai mahasiswa perguruan tinggi NU (PTNU), setiap mahasiswa harus menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, baik di dalam kampus maupun di masyarakat bersama keluarga.
“Oleh sebab itu, setiap alumni PTNU, kita tuntut untuk berkomitmen pada NKRI, memilikis semangat Bhinneka Tunggal Ika, bersikap dengan landasan UUD NRI 1945, dan berjiwa Pancasila. Dengan keempatnya, kita yakin alumni PTNU akan menjadi SDM yang unggul dan dapat menciptakan pemimpin yang ideal demi Indonesia maju,” pungkasnya.