Djawanews.com – Polemik pernikahan beda agama kembali hangat diperbincangkan usai Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengesahkan pernikahan pasangan dengan keyakinan berbeda.
Ketua Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS), Ade Armando meminta MK sahkan nikah beda agama. Ia mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan judicial review terhadap sejumlah pasal dalam UU Perkawinan sehingga memberi ruang bagi nikah beda agama.
Menurut Ade, perubahan UU Perkawinan diperlukan agar tidak ada lagi warga yang dipaksa mengubah agamanya demi bisa menikahi kekasihnya seperti praktik yang lazim terjadi di tengah masyarakat selama ini.
PIS percaya setiap warga berhak untuk menikahi siapa pun yang dicintainya tanpa harus mengorbankan agama yang diyakininya.
"Melangsungkan pernikahan dan memeluk agama seharusnya bukanlah dua hal yang saling meniadakan satu dengan yang lain. Karena itu, aturan yang mencederai hak-hak yang dijamin dalam konstitusi tersebut, harus ditinjau ulang,” kata Ade dalam pernyataannya di YouTube Gerakan PIS, dikutip dari hops.id.
Realita yang terjadi di masyarakat adalah salah satu dari dua orang yang saling mencintai terpaksa meninggalkan keyakinannya agar bisa melangsungkan pernikahan. Karena tidak dibolehkan menikah dengan seseorang yang berbeda agama.
"Mengapa kita tidak mau berempati bahwa bukan hal yang mudah bagi salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama untuk menundukkan diri terhadap agama pasangannya? Bukankah keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan harus berangkat dari kesadaran diri yang mendalam dan secara sukarela, bukan paksaan eksternal?" ujar Ade.
Apalagi, ketetapan tentang pelarangan nikah beda agama sebenarnya tidak disepakati secara mutlak oleh semua ahli agama.
alam Islam misalnya, kata Ade, ada beragam tafsiran tentang kesahan pernikahan beda agama. Tidak bisa dipungkiri ada tafsiran yang mengizinkan pernikahan beda agama. Pandangan ini juga merujuk ayat Alquran dan pengalaman sejumlah sahabat Nabi Muhammad.
Karena ini adalah soal interpretasi, kata Ade Armando, maka selayaknya UU Perkawinan mengakomodasi pasangan yang berpandangan perkawinan berbeda agama adalah perkara yang dibolehkan.
"Bagi mereka yang mengangap pernikahan beda agama dilarang sesuai keyakinannya, mereka dapat memilih untuk tidak menikah beda agama. Sebaliknya, bila ada yang menganggap pernikahan beda agama sah menurut keyakinannya, sepantasnya mereka dapat melaksanakan pernikahannya," katanya.
Dengan solusi itu, perkawinan dan pencatatan perkawinan berbeda agama tetap dianggap sah di mata hukum, tanpa dibedakan dengan pasangan perkawinan seiman.
Dengan begitu, UU Perkawinan menjadi UU yang dapat melindungi dan menjamin hak konstitusional dan hak asasi semua warga negara.
Untuk itu, PIS berharap para Hakim MK yang terhormat mau mempertimbangkan gejala-gejala sosial yang terjadi di tengah masyarakat bagi perbaikan UU Perkawinan.
"Pernikahan adalah hak asasi dan merupakan perintah dari Allah SWT. Karenanya, pelaksanaannya tidak boleh dilarang oleh siapa pun," tandas Ade.