Djawanews.com – Kematian WS Rendra adalah salah satu momen kesedihan yang patut dikenang oleh Indonesia. Tidak hanya sebagai seorang tokoh pergerakan, Rendra juga dikenang sebagai tokoh yang berpengaruh dalam dunia teater Indonesia, dan juga dikenang sebagai penyair.
Wilibrodrus Surendra Broto Rendra meninggal pada tanggal 6 Agustus 2009 di RS Mitra Keluarga Depok. Indonesia benar-benar berduka kala itu lantaran kehilangan salah satu penyair legendaris Indonesia.
Kematiannya tak hanya meninggalkan duka, namun meninggalkan karya yang berupa Puisi Pamflet. Puisi tersebut jadi salah satu warisa Rendra yang amat sangat berharga bagi perkembangan sastra Indonesia.
Apa itu Puisi Pamflet?
Secara umum, Puisi Pamflet adalah puisi yang menggunakan gaya bahasa pamflet. Pengertian tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial Indonesia pada zaman Rendra masih hidup.
Pada masa itu, pamflet digunakan sebagai sarana penggerak masa, media mengkritisi kekuasaan, protes sosial, dan sebagainya.
Sedangkan Rendra adalah penyair yang menyuarakan protes sosialnya dalam bentuk puisi pamflet. Hal tersebut terlihat dari beberapa puisi yang sampai saat ini dikaitkan dengan reformasi, pergerakan, kritik kekuasaan, dan sejenisnya.
Contoh Puisi Pamflet
Ada banyak contoh Puisi Pamflet karya WS Rendra. Namun yang paling populer adalah puisi Rendra yang berjudul “Sajak Burung-Burung Kondor”.
Sajak Burung-Burung Kondor
Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.
Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
WS Rendra
Puisi Pamflet di atas tidak hanya memenuhi nasibnya sebagai produk bahasa saja, namun juga menyampaikan kritik Rendra kepada penguasa di zamannya. Selain puisi di atas masih banyak Puisi Pamflet Rendra yang lain.